Indonesia adalah negara hukum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, negara wajib menjunjung supremasi hukum (supremacy of the law) sebagai salah satu sendi politik bernegara, disamping sendi-sendi lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Prof. Bagir Manan dalam bukunya “Teori dan Politik Konstitusi” mengemukakan bahwa jika ditinjau dari aspek penegakan hukum (law enforcement), negara hukum menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan
lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping
Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945.12
Indonesia merupakan negara ke-78 ya ng membentuk MK. Pembentukan MK sendiri
merupakan fenomena negara modern abad ke-20. Ide pembentukan MK di Indonesia
muncul dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD
1945. Namun demikian, dari sisi gagasan hanya MPR lah yang dapat bertindak
sebagai pengawal konstitusi. Pasal 24C ayat
(2) UUD 1945 menyatakan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut dirumuskan secara berbeda dibanding
dengan wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 tersebut terkait dengan ketentuan tentang
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A
dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan demikian maksud dari frasa “dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar” adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Adanya ketentuan
tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
dalam UUD 1945 pasca perubahan tersebut memunculkan istilah baru dalam bidang
hukum tata negara, yaitu impeachment dan pemakzulan. Pemakzulan merupakan
proses pemberhentian seorang pejabat publik dalam masa jabatannya, atau sebelum
masa jabatan tersebut berakhir atau disebut dengan istilah removal from office.
Dalam proses pemakzulan tersebut terdapat mekanisme impeachment, yaitu
pendakwaan atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan pemberhentian.
Impeachment adalah prosedur di mana seorang pejabat publik yang dipilih,
didakwa melakukan pelanggaran hukum. Namun demikian, impeachment tidak
mengharuskan berakhir pada pemberhentian (removal from office). Impeachment
lebih tepat diartikan sebagai pernyataan atau pendapat yang mendakwa, atau
dapat diparalelkan dengan pengertian dakwaan dalam pidana. Menurut Borgna
Brunner, pemberhentian pejabat publik di Amerika Serikat melalui dua tahapan,
Senat.615 Adanya impeachment tidak harus berakhir dengan pemakzulan, sedangkan
adanya pemakzulan pasti telah didahului dengan impeachment. Jadi, impeachment
merupakan bagian dari proses yang harus dilalui untuk adanya pemakzulan. Dalam
konteks ketatanegaraan, studi tentang impeachment biasanya merujuk pada ketentuan dan praktik
di Amerika Serikat. Article I Section 2 dan 3 Konstitusi Amerika Serikat
menyatakan: The President, Vice President, and all civil officers of the United
Stated shall be removed from office on impeachment for, and conviction of,
treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors. Judgment in Case of
Impeachment shall not extend further than removal from office, and
disqualification to hold and enjoy any Office of honor, Trust or Profit under
the United Stated: but the Party convicted shall nevertheless be liable and
subject to Indictment, Trial, Judgment and Punishment, according to law.616
Impeachment di Amerika Serikat sebenarnya diadopsi dari praktik yang berlaku di
Inggris sebagai ungkapan yang menunjuk pada pengertian pengadilan politik yang
digunakan untuk menjangkau para pelanggar yang mungkin lepas dari tuntutan.
Impeachment diperlukan untuk melindungi negara sekaligus menghukum pelaku.
Untuk pertama kalinya, impeachment di Inggris terjadi pada tahun 1376 yang
menimpa William, Lord of Latimer pada masa pemerintahan Raja Edward II. Namun
dengan adanya mekanisme mosi tidak percaya dari parlemen untuk membubarkan
kabinet, mekanisme impeachment tidak lagi digunakan.617 Walaupun pemakzulan di
Amerika Serikat diterapkan untuk semua pejabat publik, namun dari tahun 1789
hingga saat ini hanya terdapat 14 pejabat federal yang mengalami proses
pemakzulan, bahkan tidak semuanya berujung pada pemberhentian (removal from the
office). Pejabat yang paling banyak diajukan impeachment adalah hakim yang meliputi
14 orang hakim federal, 11 orang hakim distrik, dua orang hakim banding, serta
seorang hakim agung. Sepanjang sejarah Amerika Serikat hanya dua Presiden yang
pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton.
Keduanya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum yang didakwakan. Selain itu, pernah terjadi
upaya impeachment terhadap Presiden Richard Nixon, namun Presiden Nixon
mengundurkan diri terlebih dahulu ketika usulan impeachment itu baru disetujui
oleh DPR.618 Impeachment terhadap
Presiden AS pertama kali terjadi tahun 1868 yang menimpa Presiden Andrew
Johnson. Secara garis besar tuduhan terhadap Presiden Andrew Johnson ini adalah
telah melakukan “high crimes and misdemeanor” dengan rincian pelanggaran meliputi:
1. Pelanggaran sumpah jabatan. Presiden Andrew Johnson dipandang tidak
menghiraukan kewajiban sesuai sumpah jabatannya. Presiden melakukan
pemberhentian Edwin M. Santon sebagai
Menteri Pertahanan dan menggantinya dengan pejabat yang lain tanpa persetujuan
Senat Amerika Serikat. Padahal dalam Act Regulating the Tenure of Civil Officer
ditentukan harus dengan persetujuan Senat. 2. Melanggar undang-undang Federal
Amerika Serikat yaitu “the Command of Act” yang disahkan pada tanggal 2 Maret
1867, yaitu memberikan perintah kepada Commander in Chief Wiiliam H. Emory yang
seharusnya melalui The General of The Army.619 Dalam perjalanan proses
impeachment ini, meskipun pelanggaran yang dituduhkan kepada Presiden Andrew
Johnson telah lolos dari House of Representatives dan diproses lebih lanjut
oleh Senat, tetapi akhirnya Presiden Andrew Johnson tetap menjabat sebagai
Presiden karena suara di Senat yang menghendaki diberhentikannya Presiden
Andrew Johnson kalah dengan suara anggota Senat yang mendukung Andrew Johnson
tetap sebagai Presiden meskipun hanya berbeda satu suara..
Indonesia
merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Hal ini
meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, namun dapat diidentifikasi dari pasal-pasal
dalam UUD yang mengandung ciri sistem pemerintahan presidensil.
Mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeahcment)
sebagaimana diterapkan saat ini ditujukan untuk memperkuat sistem pemerintahan
presidensil yang dianut oleh Indonesia. Karena melalui impeachment
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah diturunkan dari
jabatannya oleh Parlemen tanpa dasar/alasan yang konstitusional atau
sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan, yakni hanya dapat diberhentikan
dengan alasan-alasan hukum[1].
Hal ini berbeda dengan mekanisme pemberhentian sebelumnya (pra perubahan),
yakni Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika
pertanggungjawabannya tidak diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Atau dengan kata lain Presiden dan/atau Wakil Presiden kala itu dapat
diberhentikan jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan-kebijakannya
tidak diterima oleh MPR[2].
Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem presidensil
yang menghendaki terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu,
mekanisme impeachment yang digulirkan melalui perubahan ketiga
Undang-Undang Dasar merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan
pemerintahan yang stabil, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan bahwa[3]:
Secara
konseptual harus diakui, instrumen-instrumen “mempersulit” penerapan
ketentuan meminta pertanggungjawaban atau melakukan impeachment terhadap
Presiden sebagai sesuatu yang sejalan dengan kehendak UUD 1945 untuk membangun
suatu pemerintahan yang stabil.
Melalui
perubahan ketiga pula, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Dengan demikian, Indonesia wajib
menjunjung supremasi hukum (supre[1]macy
of the law) sebagai salah satu sendi politik bernegara, disamping
sendi-sendi lainya.
REFERENSI:
Situs:
http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2015/14/07/Pemnerhentian-Presiden-danatau-wakil-presiden-dalam-masa-jabatannya-menurut-sistem-ketatanegaraan-indonesia/
Buku:
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jakarta, 2010.
[1]
Lihat Bab II, sub bab “Sistem Pemerintahan ”. Dalam sistem
Presidensil, Presiden (eksekutif) tidak bertanggungjawab terhadap
Parlemen (legislatif) hal ini ditujukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan.
Bagaimanapun, Parlemen adalah lembaga politik yang tidak lepas dari
kepentingan-kepentingan politik. Sehingga dimungkinkan Parlemen akan
menggunakan kewenangannya ini tidak sebagaimana mestinya (demi kepetingan
politik semata). Jika demikian yang terjadi, hal ini jelas mengancam kestabilan
penyelenggaraan pemerintahan.
2 Ibid, hlm.42.
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, loc.cit.
nt:Tulisan yang diposting ini ditulis dalam rangka berpartisipasi dalam Kompetisi Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi Universitas Tarumanegara Jakarta Piala Mahkamah Konstitusi 2015