PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Dalam era globalisasi hak kekayaan intelektual (HAKI) menjadi issu yang menarik untuk dikaji karena perannya yang semakin menentukan terhadap laju percepatan pembangunan nasional suatu negara di dunia.Dalam kaitan ini era globalisasi dapat dianalisis dari dua karakteristik dominan.Pertama, era globalisasi ditandai dengan semakin terbukanya secara luas hubungan antar bangsa dan antar negara yang didukung dengan transparansi dalam informasi.Dalam kondisi tranparansi informasi yang sedemikian itu, maka kejadian atau penemuan di suatu belahan dunia akan dengan mudah diketahui dan segera tersebar ke belahan dunia lainnya. Hal ini membawa implikasi, bahwa pada saatnya segala bentuk upaya penjiplakan, pembajakan, dan sejenisnya tidak lagi mendapatkan tempat dan tergusur dari fenomena kehidupan bergagai bangsa.
Kedua, era globalisasi membuka peluang semua bangsa dan Negara di dunia untuk
dapat mengetahui potensi, kemampuan,
dan kebutuhan masing-masing. Kendatipun tendensi yang mungkin terjadi dalam
hubungan antar Negara didasarkan pada upaya pemenuhan kepentingan secara
timbale balik, namun justru Negara yang memiliki kemampuan lebih akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Bertolak pada dua hal tersebut, upaya perlindungan terhadap HAKI apapun brntuknya sudah saatnya menjadi priorotas dan kepedulian semua pihak agar tercipta kondisi yang mendukung bagi tumbuh kembangnya kegiatan inovatif dan kreatif yang menjadi syarat bats dalam menumbuhkan kemampuan penerapan, pengembangan, dan penguasaan teknologi dalam segala bidang.
Untuk itu dengan sendirinya diperlukan adanya perangkat hukum yang memadai sehingga ke depan untuk lebih menyesuaikan pengimplementasian TRIPs maka Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 1997 yang sebelumnya berlaku perlu dicabut dan diganti.
Karena itu untuk memenuhi kebutuhan hukum ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang diberlakukan sejak 29 Juli 2003 telah resmi sebagai payung hukum atas kekayaan intelektual manusia di Indonesia, khususnya di bidabg hak cipta.
Dalam era globalisasi hak kekayaan intelektual (HAKI) menjadi issu yang menarik untuk dikaji karena perannya yang semakin menentukan terhadap laju percepatan pembangunan nasional suatu negara di dunia.Dalam kaitan ini era globalisasi dapat dianalisis dari dua karakteristik dominan.Pertama, era globalisasi ditandai dengan semakin terbukanya secara luas hubungan antar bangsa dan antar negara yang didukung dengan transparansi dalam informasi.Dalam kondisi tranparansi informasi yang sedemikian itu, maka kejadian atau penemuan di suatu belahan dunia akan dengan mudah diketahui dan segera tersebar ke belahan dunia lainnya. Hal ini membawa implikasi, bahwa pada saatnya segala bentuk upaya penjiplakan, pembajakan, dan sejenisnya tidak lagi mendapatkan tempat dan tergusur dari fenomena kehidupan bergagai bangsa.
Source:ilmiichwanul.blogspot.com |
Bertolak pada dua hal tersebut, upaya perlindungan terhadap HAKI apapun brntuknya sudah saatnya menjadi priorotas dan kepedulian semua pihak agar tercipta kondisi yang mendukung bagi tumbuh kembangnya kegiatan inovatif dan kreatif yang menjadi syarat bats dalam menumbuhkan kemampuan penerapan, pengembangan, dan penguasaan teknologi dalam segala bidang.
Untuk itu dengan sendirinya diperlukan adanya perangkat hukum yang memadai sehingga ke depan untuk lebih menyesuaikan pengimplementasian TRIPs maka Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 1997 yang sebelumnya berlaku perlu dicabut dan diganti.
Karena itu untuk memenuhi kebutuhan hukum ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang diberlakukan sejak 29 Juli 2003 telah resmi sebagai payung hukum atas kekayaan intelektual manusia di Indonesia, khususnya di bidabg hak cipta.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah mengenai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan kaitannya dengan syariah Islam, memuat 2 point :
Adapun rumusan masalah mengenai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan kaitannya dengan syariah Islam, memuat 2 point :
1.
Apa yang dimaksud dengan HAKI dan
bagaimana sejarah HAKI dibentuk?
2.
Apa fungsi dan sifat Hak cipta?
3.
Apa prinsip-prinsip Dasar dan
Cakupan HAKI?
4.
Bagaimana Undang-Undang Hak Cipta
dipandang dalam perspektif Islam?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini, di antaranya :
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini, di antaranya :
1.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan HAKI di Indonesia
2.
Untuk mengetahui bagaimana Hak cipta dipandang dari perspektif
Islam (syariah).
3.
Untuk mengetahui prinsip dasar,
fungsi, sifat, dan cakupan Hak Cipta.
1.4 Manfaat
Sebagai referensi baik untuk para pelaku usaha, pakar hukum, dan khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami atau memahami HAKI.
Sebagai referensi baik untuk para pelaku usaha, pakar hukum, dan khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami atau memahami HAKI.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hak
Cipta: Pengertian dan Sejarah Singkat
Istilah Hak Cipta diusulkan pertama kalinya oleh
Prof.St.Mooh.Syah, S.H. pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang
kemudian diterima oleh kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak
pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak
pengarang itu sendiri merupakan terjemahan darti istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam undang-undang
hak cipta yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian Hak Cipta adalah “Hak eksklusif bagi pencipta atau
pnerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).
Sebagai bahan pembanding dalam pengertian hak cipta,
terdapat pengertian lain yaitu pengertian hak cipta menurut Auteurswet 1912 dan Universal Copyright Conventio. Menurut Auteurswet 1912 pasal 1-nya menyebutkan, “Hak cipta adalah hak
tunggal dari pada pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas
hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan, dan kesenian, untuk
mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan menurut Universal Copyright Convention
dalam pasal V menyatakan bahwa, “Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta
untuk membuat, menerbitkan dan member kuasa untuk membuat terjemahan dari karya
yang dilindungi perjanjian ini.
Dari berbagi pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya hak cipta adalah suatu hak penuh yang dimiliki oleh pencipta untuk
melakukan atau tidak melakukan dalam mempublikasikan ciptaannya. Sehingga
secara otomatis si pencipta memperoleh perlindungan hokum perundang-undangan
hak cipta, sekalipun tanpa melakukan pendaftaran terlebih dahulu. Otomatisasi
inilah sekaligus yang membedakan ntara hak paten dan hak merek.
Berkenan dengan cara perolehan, luas bidang, dan pemakaian
Hak Milik Intelektual (HMI) ditentukan di dalam agreement tentang “Trade
Related Aspect of Intellectual Property Right” atau disingkat sebagai TRIPs. Di
dalamnya diatur masalah-masalah HMI seperti hak paten, hak cipta, hak merek
dagang, hak-hak dari penyelenggara (performers) dan producers dari pada rekaman
suara (sound recording).
Persetujuan tentang aspek-aspek Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) yang terkait dengan perdagangan ( Trade Related Aspect of
Intellectual Property Right; TRIPs) yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement
Establishing The world Trade Organization) telah diratifikasi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994. Implikasinya, bahwa Indonesia harus melakukan
harmonisasi dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh TRIPs adalah
terpacunya penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta
penyebaran teknologi, dengan tetap memperhatikan kepentingan produsen dan
pengguna pengetahuan tentang teknologi dan dilakukan dengan cara yang menunjang
kesejahteraan social dan ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan
Indonesia keluar dari Konvensi Bern dengan maksud agar para intelektual
Indonesia bias memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa
harus membayar royalty. Selanjutnya pada tahun
1982, pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta
berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak cipta, yang merupakan
undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut
kemudian diubah dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1987, Undang-Undang Nomor 12
tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang
kini berlaku.
2.2 Fungsi
dan Sifat Hak Cipta
Dalam pasal 1 ayat 1, telah dijelaskan bahwa, “Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Tegas-tegas dinyatakan adanya hak eksklusif yang dimiliki
pencipta. Dialah satu-satunya pemilik hasil ciptaannya. Oleh karenanya,
terdapat dua unsure. Pertama, Hak
yang dapat dipindahkan,dialihkan kepada pihak lain.Kedua, Hak moral yang biar bagaimanapun, dengan jalan apapun tidak
dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumka nama sebenarnya atau nama samara dan mempertahankan keutuhan, dan
integritas karyanya).
Tujuan pengalihan hak itu ialah mengumumkan dan memperbanyak
hasil ciptaan itu. Mengumumkan mengandung juga pertunjukkan. Apabila dijalankan
dua kali atau lebih, dapat juga dikatakan memperbanyak. Lazimnya yang
dimaksudkan dengan memp[erbanyak ialah menerbitkan karya itu dalam bentuk buku,
brosur, atau pamphlet. Pikiran dan isi hati nurani, ide, dituangkan ke dalam
bentuk tertentu. Yang dilindungi oleh undang-undang dan hukum ialah bentuk itu.
2.3 Prinsip-prinsip
Dasar dan Cakupan Hak
Ada beberapa prinsip dasar hak cipta, yang secara konseptual
digunakan sebagai landasan bagi semua Negara, baik yang mengatur Civil Law
maupun Common Law untuk mengatur
perlindungan hokum hak cipta. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)
Yang dilindungi hak cipta adalah ide
yang telah terwujud dan asli.
Salah satu prinsip yang paling fundamental dari perlindungan
hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk
perwujudan dari suatu ciptaan misalnya buku, sehingga tidak berkenaan atau
tidak berurusan dengan substansinya.
2)
Hak cipta timbul dengan sendirinya
(otomatis).
Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan
idenya dalam suatu bentuk yang terwujud. Namun demikian, akna lebih berguna
jika pada waktu pengumuman dicantumkan nama atau identitas pencipta pada
ciptaannya.
3)
Suatu ciptaan tidak selalu perlu
diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
Setiap orang yang mampu menghasilkan suatu karya (ciptaan),
maka ciptaan tersebut tidak perlu diumumkan seperti pada prinsip kedua, yaitu
bahwa hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).
4)
Hak cipta (pasal 1 ayat 1) suatu
ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hokum (legal right) yang harus
dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
5)
Hak cipta bukan hak mutlak (absolut).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
telah dijelaskan pengertian hak cipta. Dari ketentuan tersebut dapat
dikemukakan bhawa hak cipta bukanlah suatu hak yang berlakunya secara absolute
dan bukan hanaya mengenai hak saja. Namun hak cipta juga berkenaan dengan
kewajiban sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 1 undang-undang tersebut yang
menyatakan bahwa Hak Cipta dibatasi oleh undang-undang.
Selanjutnya terdapat dua hak, yang tercakup dalam hak cipta,
yaitu hak eksklusif dan hak ekonomi dan moral.
A. Hak
eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada
pemegang hak cipta adalah untuk:
·
Membuat salinan atau reproduksi
ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan
elektronik),
·
Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
·
Menciptakan karya turunan atau
derivative atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
·
Menjual atau mengalihkan hak
eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Adapun yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini
adalah bahwa hanya pemegangn hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta
tersebut, sementara orang atau piuhak lain dilarang melaksanakan hak cipta
tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak
eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor,
memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan
mengomunikasikan ciptaan kepada public melalui sarana apapun”.
Selain itu, dalam hukum
yang berlaku di Indonesia, diatur pula “hak terkait”. Menurut ketentuan
pasal 49-50 Undang-Undang republic Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 dijelaskan
bahwa:
a.
Pelaku pemilik hak untuk member izin
atau melarang orang lain tanpa persetujuan membuat, memperbanyak, dan
menyiarkan rekaman suara dan/gambar pertunjukannya, untuk jangka waktu 50 (lima
puluh) tahun.
b.
Produser rekaman suara memiliki hak
khusus untuk member izin atau melarang orang lain tanpa persetujuannya
memperbanyak rekaman suara, untuk jangka waktu 50 (lima puluh) tahun.
c.
Lembaga penyiaran juga memiliki hak
khusus, untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut
dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (pasal 3
dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak
eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (vide bab V)
B. Hak
Ekonomi dan Moral
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan
“hak moral”. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif dari pengarang untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi. Hak ekonomi meliputi hak
memperbanyak, khak distribusi, hak pertunjukan, dan hak peragaan. Sedangkan hak
moral adalahg hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman,
siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alas an apapun, walaupun hak cipta
atau hak terkait telah dialihkan.
Banyak Negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki
pencipta suatu ciptaan, sesuai persetujuan TRIPs WTO (yang secara internasional
juga mensyaratkat penerapan bagian-bagian relevan Konevensi Bern). Secara umum,
hak m,oral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa
persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut. Contoh
pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun
misalnya hak cipta atau ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak
lain. Hak moral ini diatur dalam p[asal 24-26 Undang-Undang Hak Cipta.
2.4 Hak
Cipta dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama yang mempunyai
pedoman al-Qur’an dan Sunnah telah mengatur atau menjelaskan bagaimana
seseorang menghargai hasil cipta atau karya orang lain. Hukum Islam memandang
tindakan seseorang yang melanggar hak cipta hanyalah sebatas domain halal atau
haram. Halal dalam arti sah untuk dilakukan, sedangkan haram, sebaliknya,
dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada pelanggarnya dikatakan telah
berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di akhirat.
Di dalam ajaran Islam terdapat larangan
mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an,
QS.al-Maidah, 5:38 yang artinya: “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana”.
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw
sendiri sangat tegas menjatuhkan hukuman kepada siapapun yang terbukti
melakukan pencurian, sebagaimana sabdanya: “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah
binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya”. (Riwayat Bukhari).
Ketegasan aturan mengenai perbuatan “mencuri”
ini menunjukkan pengakuan islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh
setiap orang. Bagaimanapun hak milik harus dilindungi dan perlu diatur
perpindahannya secara adil. Di dalam islam, mencuri bukan hanya dianggap
merugikan orang yang dicuri secara individual, namun juga secara social dalam
arti luas atau bahkan juga mencederai nilai kemanusiaan itu sendiri. Bahkan
secara vertical mencuri itu termasuk mendzalimi Allah swt karena dianggap tidak
mematuhi larangan-Nya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
A. Pengertian
hak cipta menurut Auteurswet 1912 dan Universal Copyright Conventio.
Menurut Auteurswet 1912 pasal 1-nya
menyebutkan, “Hak cipta adalah hak tunggal dari pada pencipta, atau hak dari
yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan,
pengetahuan, dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat
pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
B. Dalam
pasal 1 ayat 1, telah dijelaskan bahwa, “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
C. Ada
beberapa prinsip dasar hak cipta, yang secara konseptual digunakan sebagai
landasan bagi semua Negara, baik yang mengatur Civil Law maupun Common Law
untuk mengatur perlindungan hokum hak
cipta. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)
Yang dilindungi hak cipta adalah ide
yang telah terwujud dan asli.
2)
Hak cipta timbul dengan sendirinya
(otomatis).
3)
Suatu ciptaan tidak selalu perlu
diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
4)
Hak cipta (pasal 1 ayat 1) suatu
ciptaan merupakan suatu hak yang diakui
hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari
penguasaan fisik suatu ciptaan.
5)
Hak cipta bukan hak mutlak
(absolut).
D. Di
dalam ajaran Islam terdapat larangan mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan
dalam kitab suci al-Qur’an, QS.al-Maidah, 5:38 yang artinya: “ Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah
Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.
3.2 Saran
Selain diperlukan adanya sosialisasi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Kekayaan
Intelektual,Perlu ditanamkan kesadaran akan menghargai karya, untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi
para pelaku industri.
Selain diperlukan adanya sosialisasi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Kekayaan
Intelektual,Perlu ditanamkan kesadaran akan menghargai karya, untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi
para pelaku industri.
DAFTAR PUSTAKA
Djakfar,Muhammad,Hukum
Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syari’ah,
:UIN-Malang Press,2009
Wikipedia,
Hak Cipta, http://www.google.com
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
NT: Mohon maaf jika keseluruhan makalah ini dirasa kurang, saya selaku kontributor dengan senang hati menerima saran dan masukan dalam rangka penyempurnaan makalah ini)
NT: Mohon maaf jika keseluruhan makalah ini dirasa kurang, saya selaku kontributor dengan senang hati menerima saran dan masukan dalam rangka penyempurnaan makalah ini)
0 komentar:
Posting Komentar