Hukum international menghormati peranan penting dari wilayah
negara seperti yang tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas
dan kedaulatan suatu wilayah negara (territorial integrity and sovereignity) yang
dimuat dalam berbagai produk hukum internasional. Pengakuan kedaulatan dan
integritas wilayah suatu negara ini antara lain ditunjukkan dengan adanya
larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal suatu
negara.
Perubahan status kewilayahan suatu negara menimbulkan dampak
terhadap kedaulatan negara atas wilayah tersebut, khususnya dampak yuridis
terhadap kedaulatan negara termasuk di dalamnya masalah kewarganegaraan
penduduk yang bertempat tinggal di wilayah tersebut.Dengan demikian tampak
bahwa ketegasan dan kejelasan batas wilayah negara menjadi pedoman hukum bagi
tegaknya integritas dan kedaulatan suatu negara.
Kepastian dan kejelasan batas kedaulatan suatu negara
merupakan hal yang sangat fundamental, sebagai suatu kebutuhan bagi
penyelenggaraan negara dan rakyat Indonesia dalam beraktivitas dan melakukan
hubungan dengan negara lain. Sehingga dapat memberikan jaminan adanya
perlindungan dan kepastian hukum mengenai batas wilayah kedaulatannya.
Dalam ruang liungkup hukum internasional, pengakuan
internasional terhadap suatu negara didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya
syarat-syarat berdirinya suatu negara, yang antara lain adalah menyangkut
wilayah negara, terutama dalam konteks wilayah daratan (land territory), dan
karenanya tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan kenyataan
ini, maka suatu negara selalu memiliki wilayah dengan batas-batas tertentu yang
diakui secara international, walaupun batas-batas tersebut masih belum
ditentukan atau diperselisihkan. Unsure sebagaimana tertuang dalam Konvensi Montevideo
Tahun 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara. Dalam Konvensi tersebut, tidak
didefinisikan apa itu yang dinaksud dengan negara, namun melalui konvensi
tersebut dikemukakan kualifikasi yang harus dipenuhi agar terbentuk suatu
negara sebagai suatu subyek hukum internasional.
Salah satu unsur dari negara adalah wilayah dimana negara
menyelenggarakan yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala
kegiatan yang terjadi di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti itu disebut
dengan kedaulatan territorial. Kedaulatan territorial suatu negara akan
berakhir pada batas-batas terluar wilayah territorial negara yang bersangkutan,
dan karena yurisdiksi territorial suatu negara
akan meliputi pula perairan territorial, maka pada hakekatnya batas
terluar wilayah negara adalah batas terluar laut territorial.
Berdasarkan ruang lingkup yurisdiksi negara atas suatu
wilayah, maka secara garis besar wilayah negara dapat dibedakan dalam 2 (dua)
bagian, yaitu wilayah berdasarkan pendekatan teritorial dan wilayah berdasarkan
pendekatan sumberdaya alam.
1.Wilayah
berdasarkan pendekatan territorial
Wilayah ini sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan
wilayah dimana negara tersebut dibentuk, mempunyai sejumlah penduduk,serta
pemerintahan yang berdaulat. Wilayah Negara ini tentunya terdiri dari daratan
dan perairan seperti sungai, danau, teluk, perairan pedalaman dan juga laut
territorial, serta udara di atasnya.
Setelah status negara kepulauan diakui oleh dunia
internasional melalui Konvensi Hukum Laut 1982 atau UNCLOS 1982, maka seluruh
perairan kepulauan menjadi wilayah dimana negara memiliki kedaulatan
territorial, meskipun dengan suatu kewajiban tertentu yaitu akomodasi bagi
perlintasan bangsa-bangsa secara damai, seperti halnya pada laut territorial.
Negara pantai tetap dapat mengambil langkah-langkah yan
gdiperlukan untuk melindungi dirinya terhadap perlintasan yang membahayakan
kedaulatannya, juga terhadap gangguan-gangguan di bidang fiscal, imigrasi, bea
cukai, pencemaran, perikanan, pnelitian, dan komunikasi.
Memperhatikan konferensi kodifikasi hukum laut di Den Haag
pada tahun 1930 yang sebenarnya merupakan konferensi hukum laut yang pertama,
terlihat betapa ketatnya pembatasan-pembatasan terhada klaim territorial yang
dilakukan oleh negara-negara pada saat itu, dalam arti bahwa negara-negara pada
saat itu, dalam arti bahwa negara-negara tiodak boleh seenaknya melakukan
ekspansi territorial atas lautan yang dianggap sebagai bagian dari kepentingan
bersama umat manusia.
Pada konferensi tersebut sudah dibahas secara mendalam
bagaimana penetapan batas wilayah kedaulatan yang dibenarkan, bahkan untuk
perairan teluk dan muara sungai.
Membandingkan perkembangan pengaturan atas wilayah
berdasarkan pendekatan teritoria sejak konferensi Den Haag tersebut kemudian
Konvensi Geneva Tahun 1958 dan akhirnya Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, dapat
dikatakan tidak mengalami perubahan, kecuali adanya perubahan karena adanya
penyebutan istilah atau hadirnya bentuk Negara Kepulauan yang memberikan
kedaulatan territorial atas perairan kepulauan yang dasar-dasarnya telah
diletakkan oleh keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 dalam kasus
sengketa wilayah perikanan antara Inggris dan Norwegia.
Dengan diterimanya konsep negara kepulauan dalam Konvensi
Hukum Laut Tahun 1982, maka kedaulatan territorial atas wilayah negara yang
semula mempunya iluas kurang lebih 2 juta km2, kini menjadi kurang lebih 5 juta km2.
2.Wilayah berdasarkan pendekatan
sumberdaya alam
Wilayah negara yang tumbuh
berdasarkan pendekatan sumberdaya alam merupakan suatu konsepsi fungsional,
karena wilayah yang berkembang menjadi ‘’wilayah’’ negara tersebut bukan beraal
dari kewenangan territorial tetapi berasal dari kewenangan untuk memanfaatkan
sumberdaya alam di wilayah tersebut.
Klaim yang bersifat territorial yang
berkembang di perairan di sepanjang pantai didasari oleh suatu kepentingan untuk
melindungi kedaulatan negara pantai, memperkuat kedudukan bahwa hakekatnya laut
lepas adalah bebas bagi kepentingan semua umat manusia di dunia.1
Kebebasan laut lepas yang dianggap
sangat fundamental adalah kebebasan navigasi dan kebebasan menangkap ikan.
Namun demikian, kebebasan untuk menangkap ikan ini dalam perkembangannya menyebabkan
hanya negara-negara maritime besar dan mempunyai teknologi tinggi saja yang
dapat melakukan kegiatan perikanan dimana saja, bahkan sampai ke bagian
perairan yang berdekatan dengan negara lain yang jauh letaknya dari negara asal
penangkap ikan.2
Penangkapan ikan oleh negara-negara
kuat tersebut yang tidak memandang representasi secara geografis ini
mempengaruhi pengembangan industry perikanan negara-negara lemah dan kemudian
menumbuhkan suatu pengertian bahwa tiap-tiap negara pantai lebih berhak atas
sumberdaya hayati di perairan yang berdekatan dan bersambungan (adjacent) dengan
laut teritorialnya daripada negara lain yang jauh letaknya.
Secara ekologis manpaknya hubungan
geografis antara wilayah sumberdaya hayati dengan negara pantai yang berdekatan
merupakan factor tuntutan hak utama yang dapat memenuhi prinsip keadilan masyarakat
bangsa-bangsa dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan penangkapan ikan di laut
lepas. Tuntutan negara-negara atas sumberdaya alam di luar laut teritorialnya
menjelang Perang Dunia II, tidak hanya meliputi sumberdaya alam hayati tetapi
juga sumberdaya alam non-hayati (seperti minyak bumi dan gas).
B.Perjanjian
Terkait dengan hal tersebut,
perjanjian internasional yang pertama kali muncul khususnya mengenai konsep
kewilayahan sumberdaya alam yang terletak di luar laut territorial adalah
Perjanjian antara Inggris dan Venezuela untuk menetapkan batas dasar laut di
teluk Paria pada tahun 1942 dalam rangka membagi hasil sumber minyak di wilayah
perairan antara Venezuela dengan Trinidad-Tobago.
Preseden kedua dalam masalah tersebut
terjadi pada tahun 1945 berupa proklamasi Presiden Truman No.2667 dan NOo.2668
tanggal 28 September 1945 yang menyatakan tentang penguasaan dan perlindungan
Sumberdaya alam di landas kontinen dan perairan laut bebsa yang berbatasan
dengan Amerika Seriklat. Praktek negara yang dimotori negara besar ini segera
menjalar keseluruh dunia dengan deklarasi-deklarasi sepihak yang pada umumnya
menuntut suatu hak berdaulat atas sumberdaya alam pada jalur wilayah yang
berbatsan dengan laut teritorialnya, meskipun diantaranya terdapat beberapa negara
Amerika Latin yang melakukan tuntutan wilayah sumberdaya alam berdasarkan
prinsip territorial.3 Hal tersebut sebenarnya pada hakekatnya
menunjukkan bahwa keinginan dan harapan negara-negara Amerika Latin lebih
tertuju pada upaya untuk mendapatkan perlindungan terhadap kekayaan sumberdaya
alam.
Praktek-praktek negara yang kemudian
menjadi hukum kebiasaan internasional tersebut pada akhirnya dikukuhkan dalam
Konvensi Geneva Tahun 1958 tentang landas kontinen untuk masalah sumberdaya
alam non-hayati di dasar dan tanah di bawahnya yang berbatasan langsung dengan
daratannya, sedangkan hak berdaulat bagi negar yang bersangkutan atas
sumberdaya alam hayati di perairan yang berbatasan dengan laut teritorialnya
belum dirumuskan secara tegas dalam Konvensi Genewa tahun 1958.
Catatan kaki:
- MABES ABRI-PUSSURTA, Wilayah Indonesia………..ibid.
- MABES ABRI-PUSSURTA, Wilayah Indonesia………..ibid.
- MABES ABRI-PUSSURTA, Wilayah Indonesia………..ibid, hlm.9
SUMBER:
JUDUL BUKU : ASPEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA
AUTHOR : Suryo
Sakti Hadiwijoyo
PUBLISHER : GRAHA
ILMU
0 komentar:
Posting Komentar