Dalam
beberapa bulan kedepan, bangsa ini akan diramaikan dengan pesta demokrasi yang
akan menarik perhatian publik dan tentunya akan ramai diberitakan melalui media
masa, baik cetak maupun elektronik. Pesta demokrasi dalam hal ini adalah pilkada
serentak yang akan dilakukan hampir diseluruh daerah negara Indonesia. Saat ini
masih berlangsung masa kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon untuk
menarik simpatik masyarakat agar dapat memilih mereka sebagai Kepala Daerah
dalam jangka waktu 5 tahun kedepan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bahwa, salah satu syarat pasangan
calon kepala daerah dapat diusung oleh
partai politik maupun gabungan partai politik. Tidak jarang apabila calon kepala
daerah merupakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), ataupun Ketua Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) di daerah salah
satu partai politik pengusung. Tidak jarang juga, salah satu calon kepala
daerah mempunyai hubungan darah dengan Ketua DPW dan DPD salah satu partai
politik pengusung. Sebagai contoh, salah satu Calon Bupati di Sulawesi
Tenggara, yaitu calon Bupati yang daerahnya berada di daratan Muna, tepatnya
daratan Muna bagian Barat. Salah satu calon kepala daerah tersebut, mempunyai
hubungan darah dengan salah satu ketua Dewan Pimpinan Daerah salah satu partai
pengusungnya yang sekaligus merupakan anggota DPR RI dapil Sulawesi Tenggara.
Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah salah satu partai pengusung yang sekaligus
merupakan kerabat dekat salah satu calon kepala daerah, suatu hal yang wajar
apabila turun secara langsung mengkapanyekan calon kepala daerah yang diusung
oleh partai politik dipimpinnya, yang katanya beberapa waktu yang lalu melakukan
kunjungan kerja dalam waktu yang bersamaan dengan masa kampanye calon kepala
daerah . Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah diperbolehkan bila
seorang Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Politik yang sekaligus sebagai
anggota DPR RI turun langsung mengkapanyekan salah satu calon Kepala Daerah ? dan apakah diperboleh anggota DPR RI
melakukan kunjungan kerja yang bertepatan dengan masa kampanye salah satu calon
kepala daerah?
Keikut Sertaan Anggota DPR RI Dalam
Kampanye Calon Kepala Daerah
DPR RI adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum. Dengan demikian, konsekuensi logisnya bahwa anggota DPR RI harus berasal
dari partai politik. Selain memiliki tanggung jawab kepada konstituennya, anggota
DPR RI juga memiliki tanggung jawab kepada partai politiknya diantaranya mengkampanyekan
salah satu calon kepala daerah yang diusung partai politiknya. Namun, dalam hal
mengkampanyekan salah satu Calon Kepala Daerah, anggota DPR RI harus dalam
status cuti sebagai anggota DPR RI, sehingga dengan demikian kapasitasnya dalam
melakukan kampanye sebagai anggota parta Politik bukan sebagai Anggota DPR RI.
Hal demikian diatur secara eksplisit dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU). Pasal 61 ayat (1) PKPU mengatakan bahwa
“Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati,
Walikota, Wakil Walikota, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, pejabat
negara lainnya, atau pejabat daerah dapat ikut kegiatan Kampanye dengan
mengajukan izin cuti Kampanye di luar tanggungan Negara.”
Selanjutnya ayat (3) mengatakan bahwa
“Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota, pejabat negara lainnya, atau pejabat daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang: a. menggunakan fasilitas negara
yang terkait dengan jabatannya untuk kepentingan pemenangan dalam Pemilihan;
dan b. menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang terkait dengan
jabatannya, yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon lain di wilayah
kewenangannya dan di wilayah lain.”
Kunjungan Kerja Angoota DPR RI
Dalam Masa Cuti
Anggota DPR RI memiliki
3 fungsi yaitu, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk
menjalankan ke 3 fungsi tersebut diatas,
salah satu bentuknya adalah dengan melakukan kunjungan langsung kepada
konstituennya untuk menampung aspirasi-aspirasi sekaligus bertanggung jawab
secara langsung kepada masyarakat.
Kunjungan tersebut dinamakan kunjungan kerja. Dalam Tata Tertib DPR RI
kunjungan kerja diklasifikasikan dalam 2 bentuk, yaitu kunjungan kerja dalam
masa reses dan kunjungan kerja di luar masa reses. Kunjungan kerja dalam masa reses dilakukan 4
(empat) atau 5 (lima) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Sedangkan kunjungan
kerja diluar masa reses dilakukan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua)
bulan atau 6 (enam) kali dalam satu (1) tahun, dengan waktu paling lama 3
(tiga) hari. Dengan demikian, dalam melakukan kunjungan kerja dalam kapasitasnya
sebagai anggota DPR RI, segala bentuk kegiatan yang dilakukan dibiayai oleh Negara.
Secara Harfiah Cuti (dari bahasa Hindi chutti) atau perlop (dari bahasa
Belanda verlof)
adalah ketidakhadiran sementara, misalnya dari tugas angkatan bersenjata. Dalam kasus itu, cuti
adalah liburan.
Di beberapa negara Persemakmuran (seperti Australia dan Selandia Baru),
cuti adalah kepentingan karyawan yang dikenal sebagai cuti dinas panjang. Perlop
bisa berarti bagian program PHK. Perlop bisa berarti pemberhentian
jangka panjang di perusahaan kereta api.
Cuti kadang-kadang tidak sukarela karena kondisi pekerjaan. Dalam kasus ini,
cuti disebut pula pemberhentian
sementara. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cuti berarti
meninggalkan pekerjaan beberapa waktu secara resmi untuk beristirahat dan
sebagainya. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa seseorang dalam keadaan
cuti, dalam waktu tertentu terlepas dari pekerjaan yang melekat pada dirinya.
Terlepas dalam artian dalam waktu tertentu seseorang tidak dapat melaksanakan
kewenangan atas jabatan yang melekat pada dirinya sebelumnya. Menyikapi
persoalan anggota DPR RI yang statusnya cuti kampanye, namun melakukan
kunjungan kerja, hal tersebut patut di duga sebagai sebuah pelanggaran. Karena
seorang anggota DPR RI yang statusnya cuti kampanye, tidak boleh melaksanakan
kewenangannya sebagai anggota DPR RI, dimana segala bentuk kegiatan dibiayai
oleh negara. Apalagi bila anggota DPR RI tersebut menggunakan kewenangan,
program, dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya, yang menguntungkan atau
merugikan pasangan calon di wilayah kewenangannya, sehingga anggota DPR RI yang
melakukan kunjungan kerja dalam status cuti kampanye, patut diduga
menyalahgunakan kewenangan, sehingga hal tersebut dapat dikategorikan melanggar kode etik anggota DPR RI dan
ketentuan perundang-undangan yang sanksinya cukup berat.
Apa Penyalahgunaan kewewenang itu ?
Dalam hukum administrasi, Jean
Rivero dan Waline
menguraikan pengertian “penyalahgunaan kewenangan”ke dalam 3 (tiga)
bentuk, yaitu : Pertama,
penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan pribadi, kelompok
atau golongan, kedua, Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan
tersebut oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain, dan ketiga ,penyalahgunaan kewenangan dalam
arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai
tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Selanjutnya,
dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999
Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3
mengatakan bahwa
“Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Melihat
pengertian penyalahgunaan kewewenang sebagaimana yang telah diuraikan
diatas,penulis berpendapat bahwa penyalahgunaan kewenangan merupakan tindakan
seorang pejabat negara yang karena kedudukannya menyalahgunakan kewenangannya
untuk mendapat keuntungan secara pribadi, kelompok atau golongan yang merugikan
keuangan negara. Dan Perlu
diidentifikasi sebenarnya siapa saja pejabat negara itu?.
Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan
kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara
beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat negara
menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. Yang termasuk
dalam pejabat negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara adalah , Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, wakil ketua,
dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, wakil
ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, Ketua, wakil
ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah
Agung serta ketua,
wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc, Ketua,
wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi, Ketua, wakil ketua, dan
anggota Badan Pemeriksa Keuangan,Ketua, wakil
ketua, dan anggota Komisi
Yudisial, Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri dan
jabatan setingkat menteri, Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Gubernur
dan wakil gubernur, Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan Pejabat
negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sedangkan Menurut Bagir
Manan salah satu ahli Hukum Tata Negara Indonesia, pejabat negara adalah
pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada Lembaga Negara yang merupakan Alat
Kelengkapan Negara beserta derivatifnya, berupa lembaga negara pendukung.
Sebaga contoh Pejabat Negara, adalah anggrota DPR, Presiden, dan Hakim.
Pejabat-Pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama Negara. Berdasarkan
penjabaran tersebut, maka seorang anggota DPR RI merupakan seorang pejabat
negara yang dimana dikategorikan sebagai salah satu subyek yang bisa
menyalahgunakan kewenangan. Dengan demikian, seorang anggota DPR RI tidak boleh
menggunakan kewenangannya dalam hal menguntungkan kepentingan kelompok ataupun
golongan,, termasuk dalam hal ini kepentingan Partai Politik, hal demikian
merupakan perilaku koruptif yang dapat diancam dengan pidana.