6 Tahun Perjalanan KPS FH UHO

Bagikan kisahmu dengan KPS FH UHO di #HBDKPSFHUHO6.

LEX NEMINI OPERATUR INIQUUM, NEMININI FACIT INJURIAM

hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.

KPS FH UHO 2015-2016

Solidaritas untuk Kemajuan.

Selamat Datang!

Selamat datang di blog resmi KPS FH UHO

11/05/2015

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Politik (Makalah)

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Untuk memasuki millennium ketiga diperlukan keunggulan kompetitif dari bangsa-bangsa yang ada di dunia, termasuk bangsa Indonesia. Sebab millennium ketiga menjadi millennium pertarungan peradaban seluruh bangsa. Dalam kaitan ini bangsa-bangsa yang memiliki keunggulan kompetitif relatif akan lebih memiliki keunggulan kompetitif relative akan lebih memiliki peluang untuk menang, sedang bangsa yang tidak memiliki keunggulan akan menjadi pecundang, bahkan sangat mungkin akan menjadi bangsa yang terkooptasi atau tersubordinasi oleh bangsa lain. Bahasa lugasnya, bangsa yang kalah itu akan dijajah (dalam bentuk penjajahan yang baru) oleh bangsa lain. Dan dijajah, artinya menempati posisi sebagai obyek sejarah, bukan subyek sejarah. Menempati posisi ditentukan, bukan menentukan.

http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/744584/big/068243300_1412075338-pengkhianatan-g30s-pki12.jpg
Source:Liputan6.com
Menjelang Indonesia menyatakan kemerdekaan, hiruk pikuk dunia politik tumbuh dan berkembang. Akibat tekanan penjajah yang membungkam seluruh kegiatan politik, membuat banyak orang Indonesia memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah politik. Panggung politik ketika itu sudah penuh dengan persemaian konflik, satu dengan lainnya sering bersebrangan. Persaingan lebih menonjol dibanding rivalitas.
Kita tentu ingat dengan  peristiwa pergolakan politik Indonesia PKI, partai yang berhaluan kiri selalu menggemakan jargon-jargon revolusi. Jika dilihat situasi politik saat itu, sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan semangat revolusi kemerdekaan. Selain belum sepenuhnya merdeka juga dalam negeri terjadi pergolakan, dimana setiap golongan ingin memenangkan ideologinya sebagai dasar negara Republik Indonesia. Akibat dari kekejaman tidak hanya ketidakstabilan bernegara saja yang didapatkan, ternyata anak-anakpun ada yang menjadi korban kebiadaban politik tersebut.Berlanjut ke peristiwa Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut.menyisakan luka lahir dan batin mereka.
B.  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah kali ini, penulis akan mengulas kronologi, pengaruh politik terhadap hukum yang berdampak pada anak-anak dibawah umur dan langkah yang dilakukan agar anak-anak korban politik tidak berlarut-larut dalam trauma mereka.
C.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah untuk mengetahui sejarah pergolakan politik sejak Orde Baru hingga kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso hingga memakan korban anak-anak yang dibawah umur.
D. Manfaat
Manfaat teoritis dalam makalah ini, diantaranya:
1.   Setelah penulisan makalah ini, diharapkan kita dapat merenungkan akan ketidakstabilan politik di masa lampau dan menjadi pembelajaran kedepannya agar tidak meninggalkan luka yang dalam bagi anak-anak.
2.      Sebagai referensi tambahan dalam mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan Dan Anak.
 Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh secara praktis kita dapat menengok kembali pergolakan politik di masa lampau dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai moment ‘Back to the past time.’
Bab II
Kajian Pustaka
A. Arti dan Cakupan Politik Hukum
1.      Pengertian
Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu, dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, dapatlah penulis kemukakan bahwa politik hukum adalah ‘’legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.’’ Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Definisi yang pernah dikemukakan oleh beberapa pakar lain menunjukkan adanya persamaan substantif dengan definisi yang penulis kemukakan. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Di dalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.  
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu, 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui system yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
2.      Hukum Sebagai Alat
Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yang sama dengan definisi yang penulis kemukakan yakni bahwa politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehiongga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan system hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodic. Yang bersifat permanen misalnya permberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan colonial, dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
B.  Intervensi Politik Atas Hukum
Tidak sedikit dari para mahasiswa hukum yang heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti yang dipahami dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Mereka lantas bertanya mengapa hal itu terjadi?
Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis system politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa.
Upaya untuk member jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

C.     Prinsip-prinsip Dasar KHA
Dalam KHA, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No.23/2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No.23/2002 tersebut, yakni:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
a. Prinsip Non Diskriminasi
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip non diskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration of Human rights, International Covenant on Civil and Political Rights, and Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on Elimination of All Form Discriminartion Against Women (CEDAW). Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain. Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee children). Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak. Acuan terhadap diskriminasi dapat pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut: “any distinction, exclusion, restriction or preference base on race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”. Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”. Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat 1 Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya.  Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 6, dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif. Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society). Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut:
The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”.
Menurut Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”.Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya. Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak dapat dijalankannya, maka negara mesti menyediakan program “jaminan sosial” (“savety net”).
c. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
Prinsip ini merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, yang kemudian secara eksplisit dianut sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya, prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/ 2002. Jika dibandingkan, norma hukum pasal 4 UU No. 23/2002 mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39/1999 juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999). Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right). Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6).  Bahkan, dalam General Comment -nya pada tahun 1982, The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights to life … is the supreme right from which no derogation is permitted even in time of emergency).
Bab III
Pembahasan
A. Konfigurasi Politik
1.      Tragedi Nasional G30S/PKI
Tarik menarik antara Soekarno, militer, dan PKI pada era demokrasi terpimpin mencapai titik puncaknya pada bulan September 1965, menyusul Kudeta PKI yang gagalyang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Setelah Kudeta yang gagal itu kekuasaan Soekarno dan PKI merosot tajam sehingga tarik menarik kekuasaan di antara kekuatan politik era Orde Lama menjadi tidak imbang lagi dan berakhir dengan tampilnya Angkatan Darat sebagai pemenang. Partai yang berhaluan kiri ini selalu menggemakan jargon-jargon revolusi. Jika dilihat situasi politik saat itu, sessungguhnya Indonesia masih membutuhkan semangat revolusi kemerdekaan. Selain belum sepenuhnya merdeka juga dalam negeri terjadi pergolakan, dimana setiap golongan ingin memenangakan ideologinya sebagai dasar negara republik Indonesia. Saat itu, PKI cukup memiliki simpati dari masyarakat Indonesia karna perjuangannya yang ingin membebasakan kaum miskin dari ketertindasannya. Namun PKI tidak luput dari oposisi partai-partai islam dan kelompok-kelompok liberal karena landasan ideology yang bersebrangan.
2.      Imbas Terhadap Anak Mantan PKI
Dinamika percaturan politik pada akhirnya berhasil menumbangkan sukarno yang dikenal dengan rezim orde lama dan digantikan dengan rezim orde baru dibawah pimpinan Suharto. Keduanya sangat berbeda dalam sistem politik yang dijalankannya karena lahir dalam dua ideology yang berbeda pula, sosialis-komunis dan kapitalis-liberal. Sehingga ditengah kekuasaan orde baru semua anggota PKI yang merupakan partai pendukung orde lama segera disingkirkan. Tragisnya semua anggota PKI termasuk anak cucunya mendapatkan sangsi salah satunya tidak bisa bekerja dalam instansi yang berada di bawah naungan lembaga pemerintahan.
Novel ini sesungguhnya, menceritakan tentang perjalanan anak manusia yang hidup dalam dua rezim ini, Orde baru dan orde lama. Akibat seorang ayah yang tidak tahu menahu dengan seluk beluk PKI sehingga masuk menjadi anggota PKI. Melihat perilaku partai yang tidak sesuai dengan kesehariannya sebagai seorang muslim maka keluarlah dia dari partai. Namun dalam aturan partai tidak mengizinkan anggotanya keluar, sekali masuk harus tetap di dalam dan tidak bisa lagi meninggalkan partai.
‘Menginggalkan partai berarti penghianat dan dicap sebagai kontrarevolusi’. Kalimat itu yang selalu di ucapkan oleh salah satu tokoh PKI kepada seorang ayah. Namun peristiwa gesatapu telah membuat PKI kehilangan simpati dari rakyat Indonesia apalagi prilakunya selama ini yang anti agama. Gestapu atau dikenal dengan gerakan 30 september PKI yang melakukan pengkudetaan terhadap presiden sukarno dan pembunuhan 6 Jendral sehingga mencoreng namanya dalam panggung perpolitikan Indonesia. Suasana perpolitikan pasca peristiwa itu mengalami instabilitas. Singkat cerita akhirnya Suharto menduduki tampuk kekuasan republik Indonesia.
PKI dibubarkan dan kader-kadernya diberikan sangsi oleh orde baru. Bahkan anak dan cucu eks PKI mengalami diskriminasi dalam kehidupan di masyarakat. Inilah yang terjadi pada Marwan, seorang anak dari eks PKI yang sebenarnya ayahnya sudah memundurkan diri dari partai terlarang itu. Namun dalam mekanisme partai ini tidak pernah memberikan surat pemberhentian kepada anggotanya yang terlanjur bergabung dalam partai. Akhirnya sekali PKI tetap PKI. Di masa orde baru inilah PKI mendapatkan cercaan di masyarakat Indonesia. Orang PKI selalu di identikan dengan pengacau, pemberontak, kejam dan ateis. Predikat inilah yang menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga Marwan. Istrinya marah padanya karena merasa dibohongi yang selama ini tidak pernah diberitahu tentang latar belakang keluarganya. Istrinya baru tahu belakangan setelah mendengar cerita dari Ibu Marwan. Ibu Marwan menceritakan secara lengkap kepada menantunya yang dikiranya sudah diberi tahu sebelunya oleh Marwan. Tak bisa menahan emosi, akhirnya istri Marwan memarahi suaminya. Konflik pun terjadi kembali yang sebelumnya juga sering terjadi. Tak berhenti di rumah tangga. Di perusahaan tempat Marwan bekerja, dia mendapatkan imbasnya pula karena anak dari anggota PKI. Seorang teman kerjanya mengetahui identitas keluarganya dan melaporkannya kepada atasannya. Sebenarnya Marwan sudah mencoba menjelaskan secara rasional tentang status ayahnya di PKI. Namun atasannya yang simpati tidak memiliki otoritas untuk mempertahankannya di perusahaan. Pada akhirnya dia dipecat dan bahkan diancam untuk diadili karna melakukan kebohongan administrasi. Kejadian ini kemudian membuat istrinya menangis. Istrinya merasa bersalah sebagai istri karena selama menikah dengan Marwan kesialan selalu menghampiri. Mereka tidak memiliki anak dan Marwan dipecat dari tempat kerjanya. Atas alasan inilah istrinya meminta agar di ceraikan. Dan rentetan-rentetan sebab tadi akhirnya mereka bercerai.
B.  Anak-Anak Korban Kerusuhan Politik di Indonesia : (Memorandum Pandangan YKAI)
Bocah itu menatap dengan sorot mata tajam. Di tangannya tergenggam sebuah senjata mainan yang dibuat sangat rapi dari pokok kayu rumbia. Ketika ditanyakan namanya, ia menyeringai. Tapi ibunya, Tiamah (50) memberitahu si bungsu dari delapan bersaudara itu bernama Fajar Akbar, usianya menjelang 10 tahun. Entah apa dalam pikiran si kecil Fajar yang baru duduk di kelas 2 SD ini, ketika disapa "Soe Nan Kah ?" (siapa namamu). Ia hanya menjawab dengan mengacungacungkan"senapannya" sambil tersenyum malu-malu. Fajar Akbar masih belum banyak mengerti  tentang hidup. Bahkan mungkin sekali ia juga belum memahami benar makna senapan mainan yang dipegangnya. Sesekali mulutnya mengeluarkan suara "dum...dum...dum..det..det...". Lalu ia berguling-guling di atas tanah sawah yang kering sehabis panen. Hal itu ia lakukan sambil berlarian dan memberondong teman-temannya yang juga mempunyai senjata sejenis. Mereka asyik bermain perang-perangan. Fajar dan ibunya sekarang tinggal di Kamp Penampungan Pengungsi Aceh di Transito Transmigrasi, Medan. Fajar kecil mungkin tidak mengerti bahwa ayahnya M. Thalib (55) meninggal karena adanya kontak senjata antara TNI dan GAM. Lain lagi dengan Devi (10) pengungsi Ambon di Jakarta. "Saya ingin Pulang ke Ambon. Saya rindu untuk bisa bermain sepeda dengan teman-teman dan berbicara dalam bahasa Ambon".
Dari Pontianak, Lina (11) mengatakan mengungsi karena semua saudara, orang tuanya dibakar massa. Sekarang Lina sering mengigau, sulit tidur dan tidak nafsu makan. Gambaran diatas hanyalah ilustrasi dari akibat yang harus ditanggung anak-anak karena terjadinya kerusuhan dan gejolak politik di beberapa daerah di Indonesia. Mulai dari Timor Leste, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat, Poso, dan lain-lain. Hal itu kemudian memunculkan istilah anak-anak pengungsi (Internally Displaced Children). Akan tetapi untuk satu kasus, seperti halnya di Timor Leste dimana banyak pengungsi anak yang membanjiri kamp di Bellu, Noelbaki (Kupang) dan sekitarnya mereka dapat dikategorikan sebagai Refugee Children.
1.      Situasi dan Permasalahan
Konon sejarah terbentuknya bangsa Indonesia, sebagian besar adalah hasil kekerasan dan sejak dahulu kita tidak terbiasa dengan penyelesaian damai. Kemerdekaan kita rebut dengan kekerasan, Orde Baru lewat kekerasan sehingga masyarakat Indonesia terbiasa belajar kekerasan adalah jawaban segala persoalan.Namun benarkah demikian ? Pertanyaan ini tentunya mengusik di benak kita. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut. Bahkan walaupun aanak-anak tidak menjadi korban secara langsung, mereka "merasa takut" (fear of crime) karena mungkin saja melihat orang tuanya dibunuh atau bahkan melihat "trigger happy" seperti kasus Trisakti dan Simpang KKA di Aceh. Itu semua adalah contoh tentang lembaga kekerasan yang ada di Indonesia. Anak-anak disamping menjadi pengungsi mereka juga terjebak dalam tembak menembak dan kemungkinan menjadi sasaran khusus. Hal ini karena sebagian besar kekerasan itu terjadi antar etnis. Eskalasi dari superioritas etnis menjadi pembersihan etnis dan pembunuhan massal. Kalaulah di Indonesia banyak timbul korban anak-anak termasuk menjadi pengungsi, hal ini menjadi fenomena yang biasa. Bentuk yang lain dalam upaya pembersihan etnis adalah pemerkosaan sistematik. Di Indonesia walau sulit dibuktikan, hal ini dilaporkan terjadi di beberapa daerah termasuk menimpa korban anak-anak. Dari berbagai kerusuhan tersebut tidak dapat dipungkiri semuanya telah menyebabkan banyaknya korban sehingga menimbulkan banyak pengungsian yang banyak dilakukan oleh anak-anak dan perempuan.
2.      Bentuk Pengungsian di Indonesia
Menurut Konvensi Hak Anak ps. 22 tentang Refugee Children jelas diatur bahwa negara peserta termasukIndonesia harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin para pengungsin anak. Kasus ini mungkin hanya dapat diterapkan pada para pengungsi anak dari Timor Leste yang terjadi akibat kasus jajak pendapat di Timor Timur pada Agustus 1999. Jumlah pengungsi keseluruhan mencapai 295.744 (BPS, Laporan Sosial Indonesia 2000 - 2002). Dari jumlah itu diperkirakan 40 % adalah anak-anak yang berumur dibawah usia 18 tahun. (Pemerintah Indonesia, First Periodic Report 1993 - 2000 CRC, 2001). Sampai saat ini upaya pengembalian sedang dilakukan oleh UN Agency. Pada sisi yang lain juga dikenal istilah Internally Displaced Children yang merupakan pengungsian akibat dari terjadinya konflik etnik (ethnic conflic), ketegangan sosial (social tension) atau kerusuhan di suatu daerah. Menurut data pemerintah ada sekitar 1.200.000 pengungsi yang tersebar di 19 propinsi di Indonesia dengan Pengungsi anak (Refugee Children dan Internally Displaced Children) pada dasarnya mengalami berbagai akibat seperti meninggal dunia, menjadi yatim piatu, tekanan psikologis, kehilangan identitas diri, kurang mendapatkan akses pada berbagai pelayanan, gizi buruk, sering sakit dan putus sekolah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya kepastian penyelesaian, sampai kapan pengungsian akan berakhir, tidak ada pola penanganan dan kebijakan khusus penanganan pengungsi anak dan penanganan paska konflik mengenai gangguan psikososial dan pendidikan perdamaian agar hidup bersama dalam perbedaan. Kantor UNHCR di Kupang memperkirakan lebih dari 1.500 anak-anak yang terpisah dari orang tua atau keluarganya. Saat ini anak-anak itu tersebar di kamp-kamp pengungsian di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang. UNHCR juga mencatat bahwa sejak September - November 1999 banyak anak-anak yang keluar dari wilayah NTT dengan tujuan Semarang dan daerah lain (Pemerintah Indonesia, First Periodic Report CRC, 2001).
3.      Upaya Yang Sudah Dilakukan Pemerintah
Dengan segala keterbatasan kemampuannya, pemerintah Indonesia baru secara resmi dengan Keppres 3/2001 mempunyai lembaga koordinasi penanganan pengungsi yaitu Bakorstanas Penanggulangan dan Penanganan Pengungsi yang langsung berada dibawah presiden. Lembaga inin diharapkan mempunyai jaringan ke daerah melalui Satkorlak PBP (Satuan Pelaksana Penanganan Bencana dan Pengungsi di Dati I) yang dikoordinasikan oleh gubernur, Satlak PBP Dati II serta unit pelaksana yaitu Satuan Tugas di tingkat Dati II yang dikoordinasikan oleh Walikota/Bupati. Bakornas PBP melakukan tugasnya dengan berkoordinasi dengan berbagai departemen seperti Depdagri, Depsos, Depkes, Depdiknas, dan Depkimpraswil.Beberapa langkah yang sudah dilakukan adalah pemberian bantuan kemanusiaan berupa pemberian makanan, tempat penampungan, pakaian, pendidikan, pelayanan, kesehatan, makanan tambahan bagi balita, bantuan sanitasi dan bentuk lainnya dengan bekerjasama dengan kantor Menko Kesra, UNHCR, ICRC, UNICEF, UNDP bersama International NGOs. Depdiknas dengan program sekolah darurat yang mulai diterapkan di beberapa lokasi pengungsian seperti Aceh, Maluku, Poso, Sampang, dan lain-lain. Depkes membuat crisis center di bidang kesehatan di tiap-tiap lokasi penampungan pengungsi. UNICEF juga telah memberikan education in emergencies kit untuk daerah Aceh, Maluku, dan Poso. Paket ini meliputi buku pelajaran, alat tulis, dan tenda belajar. Disamping itu dengan metode Peace Education, mereka telah mencoba menerapkan di beberapa wilayah. Selain itu bekerjasama dengan Panitia Bersama Urusan Pengungsi Keuskupan
Atambua telah membuat crisis center untuk anak-anak. Selain bantuan itu, juga ada bantuan sanitasi dan air bersih dan pelayanan kesehatan.
Dari NGO nasional (YKAI) juga aktif mengadakan upaya-upaya seperti pelayanan kesehatan, upaya advokasi, penelitian, sosialisasi penanganan masalah dan bantuan pendidikan serta biaya hidup. Upaya promotif telah dilakukan di Medan, Sambas, Kupang dan Ambon ternyata mengubah aspek kejiwaan anak-anak. Mereka yang sebetulnya sudah mandeg aspek psikomotorik dan motorik ternyata telah dapat berubah secara drastic dengan adanya perlombaan dan permainan keterampilan serta kreatifitas.
Namun ternyata upaya tersebut belum cukup, hal ini disebabkan pemerintah belum mempunyai pola penanganan pengungsi anak secara baku disamping juga banyaknya kendala lain.
Bab IV
Penutup
A. Kesimpulan
Konon sejarah terbentuknya bangsa Indonesia, sebagian besar adalah hasil kekerasan dan sejak dahulu kita tidak terbiasa dengan penyelesaian damai. Kemerdekaan kita rebut dengan kekerasan, Orde Baru lewat kekerasan sehingga masyarakat Indonesia terbiasa belajar kekerasan adalah jawaban segala persoalan.Namun benarkah demikian ? Pertanyaan ini tentunya mengusik di benak kita. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut. Bahkan walaupun aanak-anak tidak menjadi korban secara langsung, mereka "merasa takut" (fear of crime) karena mungkin saja melihat orang tuanya dibunuh atau bahkan melihat "trigger happy" seperti kasus Trisakti dan Simpang KKA di Aceh. Itu semua adalah contoh tentang lembaga kekerasan yang ada di Indonesia. Anak-anak disamping menjadi pengungsi mereka juga terjebak dalam tembak menembak dan kemungkinan menjadi sasaran khusus. Hal ini karena sebagian besar kekerasan itu terjadi antar etnis. Eskalasi dari superioritas etnis menjadi pembersihan etnis dan pembunuhan massal. Kalaulah di Indonesia banyak timbul korban anak-anak termasuk menjadi pengungsi, hal ini menjadi fenomena yang biasa.
B.  Saran
Pemerintah kendaknya meningkatkan kemampuan tenaga profesional bagi penanganan pengungsi anak termasuk membekali mereka dengan berbagai instrumen internasional yang sudah dan akan diratifikasi menyangkut masalah ini termasuk Konvensi Hak Anak. Perlunya peningkatan capacity building kemampuan penanganan pengungsi anak untuk LSM lokal dan sinergi dengan penanganan dari pihak pemerintah. Perlu dibentuk Komisi Pengungsi Anak di tingkat pusat dan daerah dalam upaya penanganan masalah pengungsi anak di Indonesia
Daftar Pustaka
A. Buku Dan Makalah
Mahfud MD, Moh.cet ke-4 2011.Politik Hukum di Indonesia.Jakarta:Rajawali Pers.
Daliso Mangunkusumo,dkk.1999.Penjara-Penjara Politik Indonesia.Yogyakarta: LPSA PROSPEK.
Muhammad Joni.Hak-Hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi Pbb Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga.
B.Internet
Marwan Upi.2014.www.kompasiana.com
Anonim.2014.www.indosiar.com

Hukum Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Islam (Makalah)

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 
Dalam era globalisasi hak kekayaan intelektual (HAKI) menjadi issu yang menarik untuk dikaji karena perannya yang semakin menentukan terhadap laju percepatan pembangunan nasional suatu negara di dunia.Dalam kaitan ini era globalisasi dapat dianalisis dari dua karakteristik dominan.Pertama, era globalisasi ditandai dengan semakin  terbukanya secara luas hubungan antar bangsa dan antar negara yang didukung dengan transparansi dalam informasi.Dalam kondisi tranparansi informasi yang sedemikian itu, maka kejadian atau  penemuan di suatu belahan dunia akan dengan mudah diketahui dan segera tersebar ke belahan dunia lainnya. Hal ini membawa implikasi, bahwa pada saatnya segala bentuk upaya penjiplakan, pembajakan, dan sejenisnya tidak lagi mendapatkan tempat dan tergusur dari fenomena kehidupan bergagai bangsa. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCs-wzNrk_eQvnUif29stCH0RCGMTgsTLoI5WQQcaVQc2x23o-eYAL8eDD4_HhY7DrkfP_CUSY2Rlo3YWzMqaQKFwHHKitP5BZuW_RwS3b8UdemLq7WuQmCs1wG866bu72k5c2YXpQWqk/s1600/uploads--1--2014--02--43951-anak-indonesia-bangga-budaya-bangsa-terbelakang-dalam-perlindungan-kekayaan.jpg
Source:ilmiichwanul.blogspot.com
Kedua, era globalisasi membuka peluang semua bangsa dan Negara di dunia untuk dapat   mengetahui potensi, kemampuan, dan kebutuhan masing-masing. Kendatipun tendensi yang mungkin terjadi dalam hubungan antar Negara didasarkan pada upaya pemenuhan kepentingan secara timbale balik, namun justru Negara yang memiliki kemampuan lebih akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Bertolak pada dua hal tersebut, upaya perlindungan terhadap HAKI apapun brntuknya sudah saatnya menjadi priorotas dan kepedulian semua pihak agar tercipta kondisi yang mendukung bagi tumbuh kembangnya kegiatan inovatif dan kreatif yang menjadi syarat bats dalam menumbuhkan kemampuan penerapan, pengembangan, dan penguasaan teknologi dalam segala bidang.
Untuk itu dengan sendirinya diperlukan adanya perangkat hukum   yang memadai sehingga ke depan untuk lebih menyesuaikan pengimplementasian TRIPs maka Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 1997 yang sebelumnya berlaku perlu dicabut dan diganti. 
Karena itu untuk memenuhi kebutuhan hukum ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang diberlakukan sejak 29 Juli 2003 telah resmi sebagai payung hukum atas kekayaan intelektual manusia di Indonesia, khususnya di bidabg hak cipta.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah mengenai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan kaitannya dengan syariah Islam, memuat 2 point :
1.      Apa yang dimaksud dengan HAKI dan bagaimana sejarah HAKI dibentuk?
2.      Apa fungsi dan sifat Hak cipta?
3.      Apa prinsip-prinsip Dasar dan Cakupan HAKI?
4.      Bagaimana Undang-Undang Hak Cipta dipandang dalam perspektif Islam?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini, di antaranya :
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan HAKI di Indonesia
2.      Untuk mengetahui bagaimana  Hak cipta dipandang dari  perspektif  Islam (syariah).
3.      Untuk mengetahui prinsip dasar, fungsi, sifat, dan cakupan Hak Cipta.
1.4 Manfaat
Sebagai referensi baik untuk para pelaku usaha, pakar hukum, dan khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami atau memahami HAKI.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Hak Cipta: Pengertian dan Sejarah Singkat
Istilah Hak Cipta diusulkan pertama kalinya oleh Prof.St.Mooh.Syah, S.H. pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang kemudian diterima oleh kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan darti istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam undang-undang hak cipta yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian Hak Cipta  adalah “Hak eksklusif bagi pencipta atau pnerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).
Sebagai bahan pembanding dalam pengertian hak cipta, terdapat pengertian lain yaitu pengertian hak cipta menurut Auteurswet 1912 dan Universal Copyright Conventio. Menurut Auteurswet 1912 pasal 1-nya menyebutkan, “Hak cipta adalah hak tunggal dari pada pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan, dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan menurut Universal Copyright Convention dalam pasal V menyatakan bahwa, “Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan member kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.
Dari berbagi pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya hak cipta adalah suatu hak penuh yang dimiliki oleh pencipta untuk melakukan atau tidak melakukan dalam mempublikasikan ciptaannya. Sehingga secara otomatis si pencipta memperoleh perlindungan hokum perundang-undangan hak cipta, sekalipun tanpa melakukan pendaftaran terlebih dahulu. Otomatisasi inilah sekaligus yang membedakan ntara hak paten dan hak merek.
Berkenan dengan cara perolehan, luas bidang, dan pemakaian Hak Milik Intelektual (HMI) ditentukan di dalam agreement tentang “Trade Related Aspect of Intellectual Property Right” atau disingkat sebagai TRIPs. Di dalamnya diatur masalah-masalah HMI seperti hak paten, hak cipta, hak merek dagang, hak-hak dari penyelenggara (performers) dan producers dari pada rekaman suara (sound recording).
Persetujuan tentang aspek-aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang terkait dengan perdagangan ( Trade Related Aspect of Intellectual Property Right; TRIPs) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The world Trade Organization) telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994. Implikasinya, bahwa Indonesia harus melakukan harmonisasi dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh TRIPs adalah terpacunya penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi, dengan tetap memperhatikan kepentingan produsen dan pengguna pengetahuan tentang teknologi dan dilakukan dengan cara yang menunjang kesejahteraan social dan ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern dengan maksud agar para intelektual Indonesia bias memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalty. Selanjutnya pada tahun  1982, pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1987, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
2.2  Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Dalam pasal 1 ayat 1, telah dijelaskan bahwa, “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Tegas-tegas dinyatakan adanya hak eksklusif yang dimiliki pencipta. Dialah satu-satunya pemilik hasil ciptaannya. Oleh karenanya, terdapat dua unsure. Pertama, Hak yang dapat dipindahkan,dialihkan kepada pihak lain.Kedua, Hak moral yang biar bagaimanapun, dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumka nama sebenarnya atau nama samara dan mempertahankan keutuhan, dan integritas karyanya).
Tujuan pengalihan hak itu ialah mengumumkan dan memperbanyak hasil ciptaan itu. Mengumumkan mengandung juga pertunjukkan. Apabila dijalankan dua kali atau lebih, dapat juga dikatakan memperbanyak. Lazimnya yang dimaksudkan dengan memp[erbanyak ialah menerbitkan karya itu dalam bentuk buku, brosur, atau pamphlet. Pikiran dan isi hati nurani, ide, dituangkan ke dalam bentuk tertentu. Yang dilindungi oleh undang-undang dan hukum ialah bentuk itu.
2.3  Prinsip-prinsip Dasar dan Cakupan Hak
Ada beberapa prinsip dasar hak cipta, yang secara konseptual digunakan sebagai landasan bagi semua Negara, baik yang mengatur Civil Law maupun Common Law untuk  mengatur perlindungan hokum hak cipta. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)      Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah terwujud dan asli.
Salah satu prinsip yang paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan misalnya buku, sehingga tidak berkenaan atau tidak berurusan dengan substansinya.
2)   Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).
Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam suatu bentuk yang terwujud. Namun demikian, akna lebih berguna jika pada waktu pengumuman dicantumkan nama atau identitas pencipta pada ciptaannya.
3)                  Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
Setiap orang yang mampu menghasilkan suatu karya (ciptaan), maka ciptaan tersebut tidak perlu diumumkan seperti pada prinsip kedua, yaitu bahwa hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).
4)                  Hak cipta (pasal 1 ayat 1) suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hokum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
5)                  Hak cipta bukan hak mutlak (absolut).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 telah dijelaskan pengertian hak cipta. Dari ketentuan tersebut dapat dikemukakan bhawa hak cipta bukanlah suatu hak yang berlakunya secara absolute dan bukan hanaya mengenai hak saja. Namun hak cipta juga berkenaan dengan kewajiban sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 1 undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa Hak Cipta dibatasi oleh undang-undang.
Selanjutnya terdapat dua hak, yang tercakup dalam hak cipta, yaitu hak eksklusif dan hak ekonomi dan moral.
A. Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah untuk:
·                  Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
·                     Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
·                     Menciptakan karya turunan atau derivative atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
·                     Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Adapun yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegangn hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau piuhak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan ciptaan kepada public melalui sarana apapun”.
Selain itu, dalam hukum  yang berlaku di Indonesia, diatur pula “hak terkait”. Menurut ketentuan pasal 49-50 Undang-Undang republic Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 dijelaskan bahwa:
a.    Pelaku pemilik hak untuk member izin atau melarang orang lain tanpa persetujuan membuat, memperbanyak, dan menyiarkan rekaman suara dan/gambar pertunjukannya, untuk jangka waktu 50 (lima puluh) tahun.
b.   Produser rekaman suara memiliki hak khusus untuk member izin atau melarang orang lain tanpa persetujuannya memperbanyak rekaman suara, untuk jangka waktu 50 (lima puluh) tahun.
c.    Lembaga penyiaran juga memiliki hak khusus, untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (vide bab V)
B.  Hak Ekonomi dan Moral
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif dari pengarang untuk memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi. Hak ekonomi meliputi hak memperbanyak, khak distribusi, hak pertunjukan, dan hak peragaan. Sedangkan hak moral adalahg hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alas an apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Banyak Negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai persetujuan TRIPs WTO (yang secara internasional juga mensyaratkat penerapan bagian-bagian relevan Konevensi Bern). Secara umum, hak m,oral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atau ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral ini diatur dalam p[asal 24-26 Undang-Undang  Hak Cipta.
2.4  Hak Cipta dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman al-Qur’an dan Sunnah telah mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang menghargai hasil cipta atau karya orang lain. Hukum Islam memandang tindakan seseorang yang melanggar hak cipta hanyalah sebatas domain halal atau haram. Halal dalam arti sah untuk dilakukan, sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada pelanggarnya dikatakan telah berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di akhirat.
Di dalam ajaran Islam terdapat larangan mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an, QS.al-Maidah, 5:38 yang artinya: “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw sendiri sangat tegas menjatuhkan hukuman kepada siapapun yang terbukti melakukan pencurian, sebagaimana sabdanya: “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya”. (Riwayat Bukhari).
 Ketegasan aturan mengenai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh setiap orang. Bagaimanapun hak milik harus dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, namun juga secara social dalam arti luas atau bahkan juga mencederai nilai kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertical mencuri itu termasuk mendzalimi Allah swt karena dianggap tidak mematuhi larangan-Nya.
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
A. Pengertian hak cipta menurut Auteurswet 1912 dan Universal Copyright Conventio. Menurut Auteurswet 1912 pasal 1-nya menyebutkan, “Hak cipta adalah hak tunggal dari pada pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan, dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
B.  Dalam pasal 1 ayat 1, telah dijelaskan bahwa, “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
C.  Ada beberapa prinsip dasar hak cipta, yang secara konseptual digunakan sebagai landasan bagi semua Negara, baik yang mengatur Civil Law maupun Common Law untuk  mengatur perlindungan hokum hak cipta. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)               Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah terwujud dan asli.
2)               Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).
3)               Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
4)            Hak cipta (pasal 1 ayat 1) suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui  hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
5)                  Hak cipta bukan hak mutlak (absolut).
D. Di dalam ajaran Islam terdapat larangan mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an, QS.al-Maidah, 5:38 yang artinya: “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.
3.2  Saran
Selain diperlukan adanya sosialisasi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Kekayaan
Intelektual,Perlu ditanamkan kesadaran akan menghargai karya, untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi
para pelaku industri.
DAFTAR PUSTAKA
Djakfar,Muhammad,Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syari’ah, :UIN-Malang Press,2009
Wikipedia, Hak Cipta, http://www.google.com
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

 NT: Mohon maaf jika keseluruhan makalah ini dirasa kurang, saya selaku kontributor dengan senang hati menerima saran dan masukan dalam rangka penyempurnaan makalah ini)

Twitter KPS FH-UHO

 
Terima Kasih telah berkunjung ke Blog resmi Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo • INFORMASI: UNTUK INFORMASI LEBIH LANJUT, DAPAT MENGIRIMKAN EMAIL KE kps_fhuh(at)yahoo.com. -KPS FH UHO-