11/05/2015

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Politik (Makalah)

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Untuk memasuki millennium ketiga diperlukan keunggulan kompetitif dari bangsa-bangsa yang ada di dunia, termasuk bangsa Indonesia. Sebab millennium ketiga menjadi millennium pertarungan peradaban seluruh bangsa. Dalam kaitan ini bangsa-bangsa yang memiliki keunggulan kompetitif relatif akan lebih memiliki keunggulan kompetitif relative akan lebih memiliki peluang untuk menang, sedang bangsa yang tidak memiliki keunggulan akan menjadi pecundang, bahkan sangat mungkin akan menjadi bangsa yang terkooptasi atau tersubordinasi oleh bangsa lain. Bahasa lugasnya, bangsa yang kalah itu akan dijajah (dalam bentuk penjajahan yang baru) oleh bangsa lain. Dan dijajah, artinya menempati posisi sebagai obyek sejarah, bukan subyek sejarah. Menempati posisi ditentukan, bukan menentukan.

http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/744584/big/068243300_1412075338-pengkhianatan-g30s-pki12.jpg
Source:Liputan6.com
Menjelang Indonesia menyatakan kemerdekaan, hiruk pikuk dunia politik tumbuh dan berkembang. Akibat tekanan penjajah yang membungkam seluruh kegiatan politik, membuat banyak orang Indonesia memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah politik. Panggung politik ketika itu sudah penuh dengan persemaian konflik, satu dengan lainnya sering bersebrangan. Persaingan lebih menonjol dibanding rivalitas.
Kita tentu ingat dengan  peristiwa pergolakan politik Indonesia PKI, partai yang berhaluan kiri selalu menggemakan jargon-jargon revolusi. Jika dilihat situasi politik saat itu, sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan semangat revolusi kemerdekaan. Selain belum sepenuhnya merdeka juga dalam negeri terjadi pergolakan, dimana setiap golongan ingin memenangkan ideologinya sebagai dasar negara Republik Indonesia. Akibat dari kekejaman tidak hanya ketidakstabilan bernegara saja yang didapatkan, ternyata anak-anakpun ada yang menjadi korban kebiadaban politik tersebut.Berlanjut ke peristiwa Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut.menyisakan luka lahir dan batin mereka.
B.  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah kali ini, penulis akan mengulas kronologi, pengaruh politik terhadap hukum yang berdampak pada anak-anak dibawah umur dan langkah yang dilakukan agar anak-anak korban politik tidak berlarut-larut dalam trauma mereka.
C.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah untuk mengetahui sejarah pergolakan politik sejak Orde Baru hingga kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso hingga memakan korban anak-anak yang dibawah umur.
D. Manfaat
Manfaat teoritis dalam makalah ini, diantaranya:
1.   Setelah penulisan makalah ini, diharapkan kita dapat merenungkan akan ketidakstabilan politik di masa lampau dan menjadi pembelajaran kedepannya agar tidak meninggalkan luka yang dalam bagi anak-anak.
2.      Sebagai referensi tambahan dalam mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan Dan Anak.
 Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh secara praktis kita dapat menengok kembali pergolakan politik di masa lampau dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai moment ‘Back to the past time.’
Bab II
Kajian Pustaka
A. Arti dan Cakupan Politik Hukum
1.      Pengertian
Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu, dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, dapatlah penulis kemukakan bahwa politik hukum adalah ‘’legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.’’ Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Definisi yang pernah dikemukakan oleh beberapa pakar lain menunjukkan adanya persamaan substantif dengan definisi yang penulis kemukakan. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Di dalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.  
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu, 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui system yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
2.      Hukum Sebagai Alat
Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yang sama dengan definisi yang penulis kemukakan yakni bahwa politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehiongga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan system hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodic. Yang bersifat permanen misalnya permberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan colonial, dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
B.  Intervensi Politik Atas Hukum
Tidak sedikit dari para mahasiswa hukum yang heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti yang dipahami dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Mereka lantas bertanya mengapa hal itu terjadi?
Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis system politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa.
Upaya untuk member jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

C.     Prinsip-prinsip Dasar KHA
Dalam KHA, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No.23/2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No.23/2002 tersebut, yakni:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
a. Prinsip Non Diskriminasi
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip non diskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration of Human rights, International Covenant on Civil and Political Rights, and Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on Elimination of All Form Discriminartion Against Women (CEDAW). Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain. Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee children). Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak. Acuan terhadap diskriminasi dapat pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut: “any distinction, exclusion, restriction or preference base on race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”. Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”. Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat 1 Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya.  Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 6, dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif. Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society). Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut:
The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”.
Menurut Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”.Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya. Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak dapat dijalankannya, maka negara mesti menyediakan program “jaminan sosial” (“savety net”).
c. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
Prinsip ini merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, yang kemudian secara eksplisit dianut sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya, prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/ 2002. Jika dibandingkan, norma hukum pasal 4 UU No. 23/2002 mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39/1999 juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999). Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right). Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6).  Bahkan, dalam General Comment -nya pada tahun 1982, The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights to life … is the supreme right from which no derogation is permitted even in time of emergency).
Bab III
Pembahasan
A. Konfigurasi Politik
1.      Tragedi Nasional G30S/PKI
Tarik menarik antara Soekarno, militer, dan PKI pada era demokrasi terpimpin mencapai titik puncaknya pada bulan September 1965, menyusul Kudeta PKI yang gagalyang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Setelah Kudeta yang gagal itu kekuasaan Soekarno dan PKI merosot tajam sehingga tarik menarik kekuasaan di antara kekuatan politik era Orde Lama menjadi tidak imbang lagi dan berakhir dengan tampilnya Angkatan Darat sebagai pemenang. Partai yang berhaluan kiri ini selalu menggemakan jargon-jargon revolusi. Jika dilihat situasi politik saat itu, sessungguhnya Indonesia masih membutuhkan semangat revolusi kemerdekaan. Selain belum sepenuhnya merdeka juga dalam negeri terjadi pergolakan, dimana setiap golongan ingin memenangakan ideologinya sebagai dasar negara republik Indonesia. Saat itu, PKI cukup memiliki simpati dari masyarakat Indonesia karna perjuangannya yang ingin membebasakan kaum miskin dari ketertindasannya. Namun PKI tidak luput dari oposisi partai-partai islam dan kelompok-kelompok liberal karena landasan ideology yang bersebrangan.
2.      Imbas Terhadap Anak Mantan PKI
Dinamika percaturan politik pada akhirnya berhasil menumbangkan sukarno yang dikenal dengan rezim orde lama dan digantikan dengan rezim orde baru dibawah pimpinan Suharto. Keduanya sangat berbeda dalam sistem politik yang dijalankannya karena lahir dalam dua ideology yang berbeda pula, sosialis-komunis dan kapitalis-liberal. Sehingga ditengah kekuasaan orde baru semua anggota PKI yang merupakan partai pendukung orde lama segera disingkirkan. Tragisnya semua anggota PKI termasuk anak cucunya mendapatkan sangsi salah satunya tidak bisa bekerja dalam instansi yang berada di bawah naungan lembaga pemerintahan.
Novel ini sesungguhnya, menceritakan tentang perjalanan anak manusia yang hidup dalam dua rezim ini, Orde baru dan orde lama. Akibat seorang ayah yang tidak tahu menahu dengan seluk beluk PKI sehingga masuk menjadi anggota PKI. Melihat perilaku partai yang tidak sesuai dengan kesehariannya sebagai seorang muslim maka keluarlah dia dari partai. Namun dalam aturan partai tidak mengizinkan anggotanya keluar, sekali masuk harus tetap di dalam dan tidak bisa lagi meninggalkan partai.
‘Menginggalkan partai berarti penghianat dan dicap sebagai kontrarevolusi’. Kalimat itu yang selalu di ucapkan oleh salah satu tokoh PKI kepada seorang ayah. Namun peristiwa gesatapu telah membuat PKI kehilangan simpati dari rakyat Indonesia apalagi prilakunya selama ini yang anti agama. Gestapu atau dikenal dengan gerakan 30 september PKI yang melakukan pengkudetaan terhadap presiden sukarno dan pembunuhan 6 Jendral sehingga mencoreng namanya dalam panggung perpolitikan Indonesia. Suasana perpolitikan pasca peristiwa itu mengalami instabilitas. Singkat cerita akhirnya Suharto menduduki tampuk kekuasan republik Indonesia.
PKI dibubarkan dan kader-kadernya diberikan sangsi oleh orde baru. Bahkan anak dan cucu eks PKI mengalami diskriminasi dalam kehidupan di masyarakat. Inilah yang terjadi pada Marwan, seorang anak dari eks PKI yang sebenarnya ayahnya sudah memundurkan diri dari partai terlarang itu. Namun dalam mekanisme partai ini tidak pernah memberikan surat pemberhentian kepada anggotanya yang terlanjur bergabung dalam partai. Akhirnya sekali PKI tetap PKI. Di masa orde baru inilah PKI mendapatkan cercaan di masyarakat Indonesia. Orang PKI selalu di identikan dengan pengacau, pemberontak, kejam dan ateis. Predikat inilah yang menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga Marwan. Istrinya marah padanya karena merasa dibohongi yang selama ini tidak pernah diberitahu tentang latar belakang keluarganya. Istrinya baru tahu belakangan setelah mendengar cerita dari Ibu Marwan. Ibu Marwan menceritakan secara lengkap kepada menantunya yang dikiranya sudah diberi tahu sebelunya oleh Marwan. Tak bisa menahan emosi, akhirnya istri Marwan memarahi suaminya. Konflik pun terjadi kembali yang sebelumnya juga sering terjadi. Tak berhenti di rumah tangga. Di perusahaan tempat Marwan bekerja, dia mendapatkan imbasnya pula karena anak dari anggota PKI. Seorang teman kerjanya mengetahui identitas keluarganya dan melaporkannya kepada atasannya. Sebenarnya Marwan sudah mencoba menjelaskan secara rasional tentang status ayahnya di PKI. Namun atasannya yang simpati tidak memiliki otoritas untuk mempertahankannya di perusahaan. Pada akhirnya dia dipecat dan bahkan diancam untuk diadili karna melakukan kebohongan administrasi. Kejadian ini kemudian membuat istrinya menangis. Istrinya merasa bersalah sebagai istri karena selama menikah dengan Marwan kesialan selalu menghampiri. Mereka tidak memiliki anak dan Marwan dipecat dari tempat kerjanya. Atas alasan inilah istrinya meminta agar di ceraikan. Dan rentetan-rentetan sebab tadi akhirnya mereka bercerai.
B.  Anak-Anak Korban Kerusuhan Politik di Indonesia : (Memorandum Pandangan YKAI)
Bocah itu menatap dengan sorot mata tajam. Di tangannya tergenggam sebuah senjata mainan yang dibuat sangat rapi dari pokok kayu rumbia. Ketika ditanyakan namanya, ia menyeringai. Tapi ibunya, Tiamah (50) memberitahu si bungsu dari delapan bersaudara itu bernama Fajar Akbar, usianya menjelang 10 tahun. Entah apa dalam pikiran si kecil Fajar yang baru duduk di kelas 2 SD ini, ketika disapa "Soe Nan Kah ?" (siapa namamu). Ia hanya menjawab dengan mengacungacungkan"senapannya" sambil tersenyum malu-malu. Fajar Akbar masih belum banyak mengerti  tentang hidup. Bahkan mungkin sekali ia juga belum memahami benar makna senapan mainan yang dipegangnya. Sesekali mulutnya mengeluarkan suara "dum...dum...dum..det..det...". Lalu ia berguling-guling di atas tanah sawah yang kering sehabis panen. Hal itu ia lakukan sambil berlarian dan memberondong teman-temannya yang juga mempunyai senjata sejenis. Mereka asyik bermain perang-perangan. Fajar dan ibunya sekarang tinggal di Kamp Penampungan Pengungsi Aceh di Transito Transmigrasi, Medan. Fajar kecil mungkin tidak mengerti bahwa ayahnya M. Thalib (55) meninggal karena adanya kontak senjata antara TNI dan GAM. Lain lagi dengan Devi (10) pengungsi Ambon di Jakarta. "Saya ingin Pulang ke Ambon. Saya rindu untuk bisa bermain sepeda dengan teman-teman dan berbicara dalam bahasa Ambon".
Dari Pontianak, Lina (11) mengatakan mengungsi karena semua saudara, orang tuanya dibakar massa. Sekarang Lina sering mengigau, sulit tidur dan tidak nafsu makan. Gambaran diatas hanyalah ilustrasi dari akibat yang harus ditanggung anak-anak karena terjadinya kerusuhan dan gejolak politik di beberapa daerah di Indonesia. Mulai dari Timor Leste, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat, Poso, dan lain-lain. Hal itu kemudian memunculkan istilah anak-anak pengungsi (Internally Displaced Children). Akan tetapi untuk satu kasus, seperti halnya di Timor Leste dimana banyak pengungsi anak yang membanjiri kamp di Bellu, Noelbaki (Kupang) dan sekitarnya mereka dapat dikategorikan sebagai Refugee Children.
1.      Situasi dan Permasalahan
Konon sejarah terbentuknya bangsa Indonesia, sebagian besar adalah hasil kekerasan dan sejak dahulu kita tidak terbiasa dengan penyelesaian damai. Kemerdekaan kita rebut dengan kekerasan, Orde Baru lewat kekerasan sehingga masyarakat Indonesia terbiasa belajar kekerasan adalah jawaban segala persoalan.Namun benarkah demikian ? Pertanyaan ini tentunya mengusik di benak kita. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut. Bahkan walaupun aanak-anak tidak menjadi korban secara langsung, mereka "merasa takut" (fear of crime) karena mungkin saja melihat orang tuanya dibunuh atau bahkan melihat "trigger happy" seperti kasus Trisakti dan Simpang KKA di Aceh. Itu semua adalah contoh tentang lembaga kekerasan yang ada di Indonesia. Anak-anak disamping menjadi pengungsi mereka juga terjebak dalam tembak menembak dan kemungkinan menjadi sasaran khusus. Hal ini karena sebagian besar kekerasan itu terjadi antar etnis. Eskalasi dari superioritas etnis menjadi pembersihan etnis dan pembunuhan massal. Kalaulah di Indonesia banyak timbul korban anak-anak termasuk menjadi pengungsi, hal ini menjadi fenomena yang biasa. Bentuk yang lain dalam upaya pembersihan etnis adalah pemerkosaan sistematik. Di Indonesia walau sulit dibuktikan, hal ini dilaporkan terjadi di beberapa daerah termasuk menimpa korban anak-anak. Dari berbagai kerusuhan tersebut tidak dapat dipungkiri semuanya telah menyebabkan banyaknya korban sehingga menimbulkan banyak pengungsian yang banyak dilakukan oleh anak-anak dan perempuan.
2.      Bentuk Pengungsian di Indonesia
Menurut Konvensi Hak Anak ps. 22 tentang Refugee Children jelas diatur bahwa negara peserta termasukIndonesia harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin para pengungsin anak. Kasus ini mungkin hanya dapat diterapkan pada para pengungsi anak dari Timor Leste yang terjadi akibat kasus jajak pendapat di Timor Timur pada Agustus 1999. Jumlah pengungsi keseluruhan mencapai 295.744 (BPS, Laporan Sosial Indonesia 2000 - 2002). Dari jumlah itu diperkirakan 40 % adalah anak-anak yang berumur dibawah usia 18 tahun. (Pemerintah Indonesia, First Periodic Report 1993 - 2000 CRC, 2001). Sampai saat ini upaya pengembalian sedang dilakukan oleh UN Agency. Pada sisi yang lain juga dikenal istilah Internally Displaced Children yang merupakan pengungsian akibat dari terjadinya konflik etnik (ethnic conflic), ketegangan sosial (social tension) atau kerusuhan di suatu daerah. Menurut data pemerintah ada sekitar 1.200.000 pengungsi yang tersebar di 19 propinsi di Indonesia dengan Pengungsi anak (Refugee Children dan Internally Displaced Children) pada dasarnya mengalami berbagai akibat seperti meninggal dunia, menjadi yatim piatu, tekanan psikologis, kehilangan identitas diri, kurang mendapatkan akses pada berbagai pelayanan, gizi buruk, sering sakit dan putus sekolah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya kepastian penyelesaian, sampai kapan pengungsian akan berakhir, tidak ada pola penanganan dan kebijakan khusus penanganan pengungsi anak dan penanganan paska konflik mengenai gangguan psikososial dan pendidikan perdamaian agar hidup bersama dalam perbedaan. Kantor UNHCR di Kupang memperkirakan lebih dari 1.500 anak-anak yang terpisah dari orang tua atau keluarganya. Saat ini anak-anak itu tersebar di kamp-kamp pengungsian di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang. UNHCR juga mencatat bahwa sejak September - November 1999 banyak anak-anak yang keluar dari wilayah NTT dengan tujuan Semarang dan daerah lain (Pemerintah Indonesia, First Periodic Report CRC, 2001).
3.      Upaya Yang Sudah Dilakukan Pemerintah
Dengan segala keterbatasan kemampuannya, pemerintah Indonesia baru secara resmi dengan Keppres 3/2001 mempunyai lembaga koordinasi penanganan pengungsi yaitu Bakorstanas Penanggulangan dan Penanganan Pengungsi yang langsung berada dibawah presiden. Lembaga inin diharapkan mempunyai jaringan ke daerah melalui Satkorlak PBP (Satuan Pelaksana Penanganan Bencana dan Pengungsi di Dati I) yang dikoordinasikan oleh gubernur, Satlak PBP Dati II serta unit pelaksana yaitu Satuan Tugas di tingkat Dati II yang dikoordinasikan oleh Walikota/Bupati. Bakornas PBP melakukan tugasnya dengan berkoordinasi dengan berbagai departemen seperti Depdagri, Depsos, Depkes, Depdiknas, dan Depkimpraswil.Beberapa langkah yang sudah dilakukan adalah pemberian bantuan kemanusiaan berupa pemberian makanan, tempat penampungan, pakaian, pendidikan, pelayanan, kesehatan, makanan tambahan bagi balita, bantuan sanitasi dan bentuk lainnya dengan bekerjasama dengan kantor Menko Kesra, UNHCR, ICRC, UNICEF, UNDP bersama International NGOs. Depdiknas dengan program sekolah darurat yang mulai diterapkan di beberapa lokasi pengungsian seperti Aceh, Maluku, Poso, Sampang, dan lain-lain. Depkes membuat crisis center di bidang kesehatan di tiap-tiap lokasi penampungan pengungsi. UNICEF juga telah memberikan education in emergencies kit untuk daerah Aceh, Maluku, dan Poso. Paket ini meliputi buku pelajaran, alat tulis, dan tenda belajar. Disamping itu dengan metode Peace Education, mereka telah mencoba menerapkan di beberapa wilayah. Selain itu bekerjasama dengan Panitia Bersama Urusan Pengungsi Keuskupan
Atambua telah membuat crisis center untuk anak-anak. Selain bantuan itu, juga ada bantuan sanitasi dan air bersih dan pelayanan kesehatan.
Dari NGO nasional (YKAI) juga aktif mengadakan upaya-upaya seperti pelayanan kesehatan, upaya advokasi, penelitian, sosialisasi penanganan masalah dan bantuan pendidikan serta biaya hidup. Upaya promotif telah dilakukan di Medan, Sambas, Kupang dan Ambon ternyata mengubah aspek kejiwaan anak-anak. Mereka yang sebetulnya sudah mandeg aspek psikomotorik dan motorik ternyata telah dapat berubah secara drastic dengan adanya perlombaan dan permainan keterampilan serta kreatifitas.
Namun ternyata upaya tersebut belum cukup, hal ini disebabkan pemerintah belum mempunyai pola penanganan pengungsi anak secara baku disamping juga banyaknya kendala lain.
Bab IV
Penutup
A. Kesimpulan
Konon sejarah terbentuknya bangsa Indonesia, sebagian besar adalah hasil kekerasan dan sejak dahulu kita tidak terbiasa dengan penyelesaian damai. Kemerdekaan kita rebut dengan kekerasan, Orde Baru lewat kekerasan sehingga masyarakat Indonesia terbiasa belajar kekerasan adalah jawaban segala persoalan.Namun benarkah demikian ? Pertanyaan ini tentunya mengusik di benak kita. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut. Bahkan walaupun aanak-anak tidak menjadi korban secara langsung, mereka "merasa takut" (fear of crime) karena mungkin saja melihat orang tuanya dibunuh atau bahkan melihat "trigger happy" seperti kasus Trisakti dan Simpang KKA di Aceh. Itu semua adalah contoh tentang lembaga kekerasan yang ada di Indonesia. Anak-anak disamping menjadi pengungsi mereka juga terjebak dalam tembak menembak dan kemungkinan menjadi sasaran khusus. Hal ini karena sebagian besar kekerasan itu terjadi antar etnis. Eskalasi dari superioritas etnis menjadi pembersihan etnis dan pembunuhan massal. Kalaulah di Indonesia banyak timbul korban anak-anak termasuk menjadi pengungsi, hal ini menjadi fenomena yang biasa.
B.  Saran
Pemerintah kendaknya meningkatkan kemampuan tenaga profesional bagi penanganan pengungsi anak termasuk membekali mereka dengan berbagai instrumen internasional yang sudah dan akan diratifikasi menyangkut masalah ini termasuk Konvensi Hak Anak. Perlunya peningkatan capacity building kemampuan penanganan pengungsi anak untuk LSM lokal dan sinergi dengan penanganan dari pihak pemerintah. Perlu dibentuk Komisi Pengungsi Anak di tingkat pusat dan daerah dalam upaya penanganan masalah pengungsi anak di Indonesia
Daftar Pustaka
A. Buku Dan Makalah
Mahfud MD, Moh.cet ke-4 2011.Politik Hukum di Indonesia.Jakarta:Rajawali Pers.
Daliso Mangunkusumo,dkk.1999.Penjara-Penjara Politik Indonesia.Yogyakarta: LPSA PROSPEK.
Muhammad Joni.Hak-Hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi Pbb Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga.
B.Internet
Marwan Upi.2014.www.kompasiana.com
Anonim.2014.www.indosiar.com

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Posting Komentar

Twitter KPS FH-UHO

 
Terima Kasih telah berkunjung ke Blog resmi Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo • INFORMASI: UNTUK INFORMASI LEBIH LANJUT, DAPAT MENGIRIMKAN EMAIL KE kps_fhuh(at)yahoo.com. -KPS FH UHO-