Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Untuk
memasuki millennium ketiga diperlukan keunggulan kompetitif dari bangsa-bangsa
yang ada di dunia, termasuk bangsa Indonesia. Sebab millennium ketiga menjadi
millennium pertarungan peradaban seluruh bangsa. Dalam kaitan ini bangsa-bangsa
yang memiliki keunggulan kompetitif relatif akan lebih memiliki keunggulan
kompetitif relative akan lebih memiliki peluang untuk menang, sedang bangsa
yang tidak memiliki keunggulan akan menjadi pecundang, bahkan sangat mungkin
akan menjadi bangsa yang terkooptasi atau tersubordinasi oleh bangsa lain.
Bahasa lugasnya, bangsa yang kalah itu akan dijajah (dalam bentuk penjajahan yang
baru) oleh bangsa lain. Dan dijajah, artinya menempati posisi sebagai obyek
sejarah, bukan subyek sejarah. Menempati posisi ditentukan, bukan menentukan.
Menjelang
Indonesia menyatakan kemerdekaan, hiruk pikuk dunia politik tumbuh dan
berkembang. Akibat tekanan penjajah yang membungkam seluruh kegiatan politik,
membuat banyak orang Indonesia memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah
politik. Panggung politik ketika itu sudah penuh dengan persemaian konflik,
satu dengan lainnya sering bersebrangan. Persaingan lebih menonjol dibanding
rivalitas.
Source:Liputan6.com |
Kita tentu ingat dengan peristiwa pergolakan politik Indonesia PKI,
partai yang berhaluan kiri selalu menggemakan jargon-jargon revolusi. Jika
dilihat situasi politik saat itu, sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan
semangat revolusi kemerdekaan. Selain belum sepenuhnya merdeka juga dalam
negeri terjadi pergolakan, dimana setiap golongan ingin memenangkan ideologinya
sebagai dasar negara Republik Indonesia. Akibat dari kekejaman tidak hanya
ketidakstabilan bernegara saja yang didapatkan, ternyata anak-anakpun ada yang
menjadi korban kebiadaban politik tersebut.Berlanjut ke peristiwa Peristiwa demi peristiwa yang terjadi
di Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor
Leste, Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi
termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut.menyisakan
luka lahir dan batin mereka.
B. Rumusan Masalah
Dalam
penulisan makalah kali ini, penulis akan mengulas kronologi, pengaruh politik
terhadap hukum yang berdampak pada anak-anak dibawah umur dan langkah yang
dilakukan agar anak-anak korban politik tidak berlarut-larut dalam trauma
mereka.
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah untuk
mengetahui sejarah pergolakan politik sejak Orde Baru hingga kerusuhan Mei di
Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste, Sambas, Aceh dan Poso hingga memakan
korban anak-anak yang dibawah umur.
D. Manfaat
Manfaat teoritis dalam makalah
ini, diantaranya:
1. Setelah penulisan makalah ini,
diharapkan kita dapat merenungkan akan ketidakstabilan politik di masa lampau
dan menjadi pembelajaran kedepannya agar tidak meninggalkan luka yang dalam
bagi anak-anak.
2. Sebagai referensi tambahan dalam
mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan Dan Anak.
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh secara praktis kita dapat menengok kembali pergolakan politik di masa lampau dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai moment ‘Back to the past time.’
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh secara praktis kita dapat menengok kembali pergolakan politik di masa lampau dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai moment ‘Back to the past time.’
Bab II
Kajian Pustaka
A.
Arti dan
Cakupan Politik Hukum
1.
Pengertian
Sudah
banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para
ahli di dalam berbagai literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu,
dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, dapatlah penulis kemukakan
bahwa politik hukum adalah ‘’legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.’’
Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti
yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Definisi
yang pernah dikemukakan oleh beberapa pakar lain menunjukkan adanya persamaan
substantif dengan definisi yang penulis kemukakan. Padmo Wahjono mengatakan
bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun
isi hukum yang akan dibentuk. Di dalam tulisannya yang lain Padmo
Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum
adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan
penegakan hukum. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai
suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Satjipto
Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dengan hukum tertentu di
dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan
mendasar, yaitu, 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui system yang ada; 2)
cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum
itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut dengan baik.
2.
Hukum Sebagai
Alat
Berbagai
pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yang sama dengan
definisi yang penulis kemukakan yakni bahwa politik hukum itu merupakan legal
policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk
mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai
tujuan negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang
“hukum sebagai alat” sehiongga secara praktis politik hukum juga merupakan alat
atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan system
hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Dasar
pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan
bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai
tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui
pemberlakuan atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan
perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
Politik
hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat
periodic. Yang bersifat permanen misalnya permberlakuan prinsip pengujian
yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan colonial, dengan
hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan
kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa beberapa prinsip
yang dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
B.
Intervensi
Politik Atas Hukum
Tidak sedikit dari para mahasiswa hukum yang heran dan masygul
ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti yang dipahami dan dibayangkan
ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu
dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak
mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak
dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam
menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan
banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
politik pemegang kekuasaan dominan. Mereka lantas bertanya mengapa hal itu
terjadi?
Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya.
Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum
sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan
politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh
politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis
system politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang
berkarakter seperti apa.
Upaya untuk member jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas
merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara
sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di
sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai das sollen, melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin
sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya
maupun dalam implementasi dan penegakannya.
C.
Prinsip-prinsip
Dasar KHA
Dalam KHA, ada 4 (empat) prinsip
dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No.23/2002.
Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai
prinsip-prinsip dasar dalam UU No.23/2002 tersebut, yakni:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadap pendapat
anak.
a. Prinsip Non Diskriminasi
Alinea pertama
dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental
obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak
Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh
hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi
nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip non diskriminasi
ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrumen internasional HAM,
seperti Universal Declaration of Human rights, International Covenant on
Civil and Political Rights, and Covenan on Economic, Social and Cultural
Rights, Convention on Elimination of All Form Discriminartion Against Women (CEDAW).
Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan
(distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau
pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race),
warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language),
agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other
opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty),
kelahiran atau status lain. Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya
diskriminasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung
atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled
children), anak pengungsi (refugee children). Pasal-pasal tertentu
KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung
mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk
eksploitasi terhadap anak. Acuan terhadap diskriminasi dapat pula dikutip dari
Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial, yang memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai
berikut: “any distinction, exclusion, restriction or preference base on
race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect
of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal
footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic,
social, cultural or any other field of public life”. Dalam hukum nasional,
pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut: “Diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan,
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”. Dalam hal peradilan
anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat
prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2
ayat 1 Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum
diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara
tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala
bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan
pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property),
kelahiran, atau status lainnya. Bahkan,
dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 6, dirumuskan secara eksplisit
hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
b. Prinsip
Kepentingan Terbaik bagi Anak
Prinsip
Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child) diadopsi
dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan
utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik
oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat,
pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif. Pasal 3 ayat 1
KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat
memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya
menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi
pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan
membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society). Jika
dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini
pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada
tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the
best interest of the child sebagai paramount consideration yang
berbunyi sebagai berikut:
“The child
shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and
facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a
healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the
enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the
paramount considerations”.
Menurut Lord
McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be
treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”.Dengan
demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam
setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang.
Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam
rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin
perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah
yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua
bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya.
Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak dapat
dijalankannya, maka negara mesti menyediakan program “jaminan sosial” (“savety
net”).
c.
Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
Prinsip ini
merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, yang kemudian secara eksplisit dianut
sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya, prinsip ini
dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/ 2002. Jika dibandingkan, norma
hukum pasal 4 UU No. 23/2002 mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat 1 dan
ayat 2 UUD 1945. Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU
No. 39/1999 juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam
Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999). Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi
internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang
utama (supreme right). Sebelum disahkannya KHA, beberapa
instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak
dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International
Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6). Bahkan, dalam General Comment -nya
pada tahun 1982, The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup
sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights
to life … is the supreme right from which no derogation is permitted even in
time of emergency).
Bab III
Pembahasan
A.
Konfigurasi
Politik
1.
Tragedi
Nasional G30S/PKI
Tarik
menarik antara Soekarno, militer, dan PKI pada era demokrasi terpimpin mencapai
titik puncaknya pada bulan September 1965, menyusul Kudeta PKI yang gagalyang
kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Setelah Kudeta yang gagal itu kekuasaan
Soekarno dan PKI merosot tajam sehingga tarik menarik kekuasaan di antara
kekuatan politik era Orde Lama menjadi tidak imbang lagi dan berakhir dengan
tampilnya Angkatan Darat sebagai pemenang. Partai yang berhaluan kiri ini
selalu menggemakan jargon-jargon revolusi. Jika dilihat situasi politik saat
itu, sessungguhnya Indonesia masih membutuhkan semangat revolusi kemerdekaan.
Selain belum sepenuhnya merdeka juga dalam negeri terjadi pergolakan, dimana
setiap golongan ingin memenangakan ideologinya sebagai dasar negara republik
Indonesia. Saat itu, PKI cukup memiliki simpati dari masyarakat Indonesia karna
perjuangannya yang ingin membebasakan kaum miskin dari ketertindasannya. Namun
PKI tidak luput dari oposisi partai-partai islam dan kelompok-kelompok liberal
karena landasan ideology yang bersebrangan.
2.
Imbas Terhadap
Anak Mantan PKI
Dinamika percaturan politik pada
akhirnya berhasil menumbangkan sukarno yang dikenal dengan rezim orde lama dan
digantikan dengan rezim orde baru dibawah pimpinan Suharto. Keduanya sangat
berbeda dalam sistem politik yang dijalankannya karena lahir dalam dua ideology
yang berbeda pula, sosialis-komunis dan kapitalis-liberal. Sehingga ditengah
kekuasaan orde baru semua anggota PKI yang merupakan partai pendukung orde lama
segera disingkirkan. Tragisnya semua anggota PKI termasuk anak cucunya
mendapatkan sangsi salah satunya tidak bisa bekerja dalam instansi yang berada
di bawah naungan lembaga pemerintahan.
Novel ini sesungguhnya, menceritakan
tentang perjalanan anak manusia yang hidup dalam dua rezim ini, Orde baru dan
orde lama. Akibat seorang ayah yang tidak tahu menahu dengan seluk beluk PKI
sehingga masuk menjadi anggota PKI. Melihat perilaku partai yang tidak sesuai
dengan kesehariannya sebagai seorang muslim maka keluarlah dia dari partai.
Namun dalam aturan partai tidak mengizinkan anggotanya keluar, sekali masuk
harus tetap di dalam dan tidak bisa lagi meninggalkan partai.
‘Menginggalkan
partai berarti penghianat dan dicap sebagai kontrarevolusi’. Kalimat itu yang selalu di ucapkan oleh salah satu tokoh PKI
kepada seorang ayah. Namun peristiwa gesatapu telah membuat PKI
kehilangan simpati dari rakyat Indonesia apalagi prilakunya selama ini
yang anti agama. Gestapu atau dikenal dengan gerakan 30 september PKI
yang melakukan pengkudetaan terhadap presiden sukarno dan pembunuhan 6
Jendral sehingga mencoreng namanya dalam panggung perpolitikan
Indonesia. Suasana perpolitikan pasca peristiwa itu mengalami
instabilitas. Singkat cerita akhirnya Suharto menduduki tampuk kekuasan
republik Indonesia.
PKI dibubarkan dan kader-kadernya
diberikan sangsi oleh orde baru. Bahkan anak dan cucu eks PKI mengalami
diskriminasi dalam kehidupan di masyarakat. Inilah yang terjadi pada Marwan,
seorang anak dari eks PKI yang sebenarnya ayahnya sudah memundurkan diri dari
partai terlarang itu. Namun dalam mekanisme partai ini tidak pernah memberikan
surat pemberhentian kepada anggotanya yang terlanjur bergabung dalam partai.
Akhirnya sekali PKI tetap PKI. Di masa orde baru inilah PKI mendapatkan cercaan
di masyarakat Indonesia. Orang PKI selalu di identikan dengan pengacau,
pemberontak, kejam dan ateis. Predikat inilah yang menjadi pemicu konflik dalam
rumah tangga Marwan. Istrinya marah padanya karena merasa dibohongi yang selama
ini tidak pernah diberitahu tentang latar belakang keluarganya. Istrinya baru
tahu belakangan setelah mendengar cerita dari Ibu Marwan. Ibu Marwan
menceritakan secara lengkap kepada menantunya yang dikiranya sudah diberi tahu
sebelunya oleh Marwan. Tak bisa menahan emosi, akhirnya istri Marwan memarahi
suaminya. Konflik pun terjadi kembali yang sebelumnya juga sering terjadi. Tak
berhenti di rumah tangga. Di perusahaan tempat Marwan bekerja, dia mendapatkan
imbasnya pula karena anak dari anggota PKI. Seorang teman kerjanya mengetahui
identitas keluarganya dan melaporkannya kepada atasannya. Sebenarnya Marwan
sudah mencoba menjelaskan secara rasional tentang status ayahnya di PKI. Namun
atasannya yang simpati tidak memiliki otoritas untuk mempertahankannya di perusahaan.
Pada akhirnya dia dipecat dan bahkan diancam untuk diadili karna melakukan
kebohongan administrasi. Kejadian ini kemudian membuat istrinya menangis.
Istrinya merasa bersalah sebagai istri karena selama menikah dengan Marwan kesialan
selalu menghampiri. Mereka tidak memiliki anak dan Marwan dipecat dari tempat
kerjanya. Atas alasan inilah istrinya meminta agar di ceraikan. Dan
rentetan-rentetan sebab tadi akhirnya mereka bercerai.
B.
Anak-Anak
Korban Kerusuhan Politik di Indonesia : (Memorandum Pandangan YKAI)
Bocah
itu menatap dengan sorot mata tajam. Di tangannya tergenggam sebuah senjata
mainan yang dibuat sangat rapi dari pokok kayu rumbia. Ketika ditanyakan
namanya, ia menyeringai. Tapi ibunya, Tiamah (50) memberitahu si bungsu dari
delapan bersaudara itu bernama Fajar Akbar, usianya menjelang 10 tahun. Entah
apa dalam pikiran si kecil Fajar yang baru duduk di kelas 2 SD ini, ketika
disapa "Soe Nan Kah ?" (siapa namamu). Ia hanya menjawab dengan mengacungacungkan"senapannya"
sambil tersenyum malu-malu. Fajar Akbar masih belum banyak mengerti tentang hidup. Bahkan mungkin sekali ia juga belum
memahami benar makna senapan mainan yang dipegangnya. Sesekali mulutnya mengeluarkan
suara "dum...dum...dum..det..det...". Lalu ia berguling-guling di
atas tanah sawah yang kering sehabis panen. Hal itu ia lakukan sambil berlarian
dan memberondong teman-temannya yang juga mempunyai senjata sejenis. Mereka
asyik bermain perang-perangan. Fajar dan ibunya sekarang tinggal di Kamp Penampungan
Pengungsi Aceh di Transito Transmigrasi, Medan. Fajar kecil mungkin tidak
mengerti bahwa ayahnya M. Thalib (55) meninggal karena adanya kontak senjata
antara TNI dan GAM. Lain lagi dengan Devi (10) pengungsi Ambon di Jakarta.
"Saya ingin Pulang ke Ambon. Saya rindu untuk bisa bermain sepeda dengan
teman-teman dan berbicara dalam bahasa Ambon".
Dari Pontianak, Lina (11) mengatakan
mengungsi karena semua saudara, orang tuanya dibakar massa. Sekarang Lina
sering mengigau, sulit tidur dan tidak nafsu makan. Gambaran diatas hanyalah
ilustrasi dari akibat yang harus ditanggung anak-anak karena terjadinya
kerusuhan dan gejolak politik di beberapa daerah di Indonesia. Mulai dari Timor
Leste, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat, Poso, dan lain-lain. Hal itu kemudian
memunculkan istilah anak-anak pengungsi (Internally Displaced Children).
Akan tetapi untuk satu kasus, seperti halnya di Timor Leste dimana banyak
pengungsi anak yang membanjiri kamp di Bellu, Noelbaki (Kupang) dan sekitarnya
mereka dapat dikategorikan sebagai Refugee Children.
1.
Situasi dan
Permasalahan
Konon sejarah terbentuknya bangsa
Indonesia, sebagian besar adalah hasil kekerasan dan sejak dahulu kita tidak
terbiasa dengan penyelesaian damai. Kemerdekaan kita rebut dengan kekerasan,
Orde Baru lewat kekerasan sehingga masyarakat Indonesia terbiasa belajar
kekerasan adalah jawaban segala persoalan.Namun benarkah demikian ? Pertanyaan
ini tentunya mengusik di benak kita. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di
Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste,
Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi
termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut. Bahkan
walaupun aanak-anak tidak menjadi korban secara langsung, mereka "merasa
takut" (fear of crime) karena mungkin saja melihat orang tuanya dibunuh
atau bahkan melihat "trigger happy" seperti kasus Trisakti dan
Simpang KKA di Aceh. Itu semua adalah contoh tentang lembaga kekerasan yang ada
di Indonesia. Anak-anak disamping menjadi pengungsi mereka juga terjebak dalam
tembak menembak dan kemungkinan menjadi sasaran khusus. Hal ini karena sebagian
besar kekerasan itu terjadi antar etnis. Eskalasi dari superioritas etnis
menjadi pembersihan etnis dan pembunuhan massal. Kalaulah di Indonesia banyak
timbul korban anak-anak termasuk menjadi pengungsi, hal ini menjadi fenomena
yang biasa. Bentuk yang lain dalam upaya pembersihan etnis adalah pemerkosaan
sistematik. Di Indonesia walau sulit dibuktikan, hal ini dilaporkan terjadi di
beberapa daerah termasuk menimpa korban anak-anak. Dari berbagai kerusuhan
tersebut tidak dapat dipungkiri semuanya telah menyebabkan banyaknya korban
sehingga menimbulkan banyak pengungsian yang banyak dilakukan oleh anak-anak
dan perempuan.
2.
Bentuk
Pengungsian di Indonesia
Menurut Konvensi Hak Anak ps. 22
tentang Refugee Children jelas diatur bahwa negara peserta
termasukIndonesia harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin
para pengungsin anak. Kasus ini mungkin hanya dapat diterapkan pada para
pengungsi anak dari Timor Leste yang terjadi akibat kasus jajak pendapat di
Timor Timur pada Agustus 1999. Jumlah pengungsi keseluruhan mencapai 295.744
(BPS, Laporan Sosial Indonesia 2000 - 2002). Dari jumlah itu diperkirakan 40 %
adalah anak-anak yang berumur dibawah usia 18 tahun. (Pemerintah Indonesia, First
Periodic Report 1993 - 2000 CRC, 2001). Sampai saat ini upaya pengembalian
sedang dilakukan oleh UN Agency. Pada sisi yang lain juga dikenal istilah Internally
Displaced Children yang merupakan pengungsian akibat dari terjadinya
konflik etnik (ethnic conflic), ketegangan sosial (social tension)
atau kerusuhan di suatu daerah. Menurut data pemerintah ada sekitar 1.200.000
pengungsi yang tersebar di 19 propinsi di Indonesia dengan Pengungsi anak (Refugee Children
dan Internally Displaced Children) pada dasarnya mengalami berbagai akibat
seperti meninggal dunia, menjadi yatim piatu, tekanan psikologis, kehilangan
identitas diri, kurang mendapatkan akses pada berbagai pelayanan, gizi buruk,
sering sakit dan putus sekolah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya
kepastian penyelesaian, sampai kapan pengungsian akan berakhir, tidak ada pola
penanganan dan kebijakan khusus penanganan pengungsi anak dan penanganan paska
konflik mengenai gangguan psikososial dan pendidikan perdamaian agar hidup
bersama dalam perbedaan. Kantor UNHCR di Kupang memperkirakan lebih dari 1.500
anak-anak yang terpisah dari orang tua atau keluarganya. Saat ini anak-anak itu
tersebar di kamp-kamp pengungsian di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor
Tengah Selatan dan Kupang. UNHCR juga mencatat bahwa sejak September - November
1999 banyak anak-anak yang keluar dari wilayah NTT dengan tujuan Semarang dan
daerah lain (Pemerintah Indonesia, First Periodic Report CRC, 2001).
3.
Upaya Yang
Sudah Dilakukan Pemerintah
Dengan segala keterbatasan
kemampuannya, pemerintah Indonesia baru secara resmi dengan Keppres 3/2001
mempunyai lembaga koordinasi penanganan pengungsi yaitu Bakorstanas
Penanggulangan dan Penanganan Pengungsi yang langsung berada dibawah presiden.
Lembaga inin diharapkan mempunyai jaringan ke daerah melalui Satkorlak PBP
(Satuan Pelaksana Penanganan Bencana dan Pengungsi di Dati I) yang
dikoordinasikan oleh gubernur, Satlak PBP Dati II serta unit pelaksana yaitu
Satuan Tugas di tingkat Dati II yang dikoordinasikan oleh Walikota/Bupati.
Bakornas PBP melakukan tugasnya dengan berkoordinasi dengan berbagai departemen
seperti Depdagri, Depsos, Depkes, Depdiknas, dan Depkimpraswil.Beberapa langkah
yang sudah dilakukan adalah pemberian bantuan kemanusiaan berupa pemberian
makanan, tempat penampungan, pakaian, pendidikan, pelayanan, kesehatan, makanan
tambahan bagi balita, bantuan sanitasi dan bentuk lainnya dengan bekerjasama
dengan kantor Menko Kesra, UNHCR, ICRC, UNICEF, UNDP bersama International
NGOs. Depdiknas dengan program sekolah darurat yang mulai diterapkan di
beberapa lokasi pengungsian seperti Aceh, Maluku, Poso, Sampang, dan lain-lain.
Depkes membuat crisis center di bidang kesehatan di tiap-tiap lokasi
penampungan pengungsi. UNICEF juga telah memberikan education in emergencies
kit untuk daerah Aceh, Maluku, dan Poso. Paket ini meliputi buku pelajaran,
alat tulis, dan tenda belajar. Disamping itu dengan metode Peace Education,
mereka telah mencoba menerapkan di beberapa wilayah. Selain itu bekerjasama
dengan Panitia Bersama Urusan Pengungsi Keuskupan
Atambua telah membuat crisis center
untuk anak-anak. Selain bantuan itu, juga ada bantuan sanitasi dan air bersih
dan pelayanan kesehatan.
Dari NGO nasional (YKAI) juga aktif
mengadakan upaya-upaya seperti pelayanan kesehatan, upaya advokasi, penelitian,
sosialisasi penanganan masalah dan bantuan pendidikan serta biaya hidup. Upaya
promotif telah dilakukan di Medan, Sambas, Kupang dan Ambon ternyata mengubah
aspek kejiwaan anak-anak. Mereka yang sebetulnya sudah mandeg aspek
psikomotorik dan motorik ternyata telah dapat berubah secara drastic dengan
adanya perlombaan dan permainan keterampilan serta kreatifitas.
Namun ternyata upaya tersebut belum
cukup, hal ini disebabkan pemerintah belum mempunyai pola penanganan pengungsi
anak secara baku disamping juga banyaknya kendala lain.
Bab IV
Penutup
A.
Kesimpulan
Konon sejarah terbentuknya bangsa
Indonesia, sebagian besar adalah hasil kekerasan dan sejak dahulu kita tidak
terbiasa dengan penyelesaian damai. Kemerdekaan kita rebut dengan kekerasan,
Orde Baru lewat kekerasan sehingga masyarakat Indonesia terbiasa belajar
kekerasan adalah jawaban segala persoalan.Namun benarkah demikian ? Pertanyaan
ini tentunya mengusik di benak kita. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di
Indonesia mulai dari kerusuhan Mei di Jakarta hingga kasus Ambon, Timor Leste,
Sambas, Aceh dan Poso ternyata telah menelan banyak korban dan pengungsi
termasuk diantaranya anak-anak. Hal ini seakan meneguhkan sinyalemen tersebut.
Bahkan walaupun aanak-anak tidak menjadi korban secara langsung, mereka
"merasa takut" (fear of crime) karena mungkin saja melihat
orang tuanya dibunuh atau bahkan melihat "trigger happy"
seperti kasus Trisakti dan Simpang KKA di Aceh. Itu semua adalah contoh tentang
lembaga kekerasan yang ada di Indonesia. Anak-anak disamping menjadi pengungsi
mereka juga terjebak dalam tembak menembak dan kemungkinan menjadi sasaran
khusus. Hal ini karena sebagian besar kekerasan itu terjadi antar etnis.
Eskalasi dari superioritas etnis menjadi pembersihan etnis dan pembunuhan
massal. Kalaulah di Indonesia banyak timbul korban anak-anak termasuk menjadi
pengungsi, hal ini menjadi fenomena yang biasa.
B.
Saran
Pemerintah kendaknya meningkatkan
kemampuan tenaga profesional bagi penanganan pengungsi anak termasuk membekali
mereka dengan berbagai instrumen internasional yang sudah dan akan diratifikasi
menyangkut masalah ini termasuk Konvensi Hak Anak. Perlunya peningkatan
capacity building kemampuan penanganan pengungsi anak untuk LSM lokal dan
sinergi dengan penanganan dari pihak pemerintah. Perlu dibentuk Komisi
Pengungsi Anak di tingkat pusat dan daerah dalam upaya penanganan masalah
pengungsi anak di Indonesia
Daftar Pustaka
A.
Buku Dan
Makalah
Mahfud MD,
Moh.cet ke-4 2011.Politik Hukum di Indonesia.Jakarta:Rajawali Pers.
Daliso
Mangunkusumo,dkk.1999.Penjara-Penjara Politik Indonesia.Yogyakarta: LPSA
PROSPEK.
Muhammad
Joni.Hak-Hak Anak
Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi Pbb Tentang Hak Anak: Beberapa Isu
Hukum Keluarga.
B.Internet
Marwan Upi.2014.www.kompasiana.com
Anonim.2014.www.indosiar.com
0 komentar:
Posting Komentar